Kian hari, saya makin merasa bagian kosong dalam hidup saya diisi oleh kucing. Padahal, saya tak pernah memiliki seeokor kucing. Dengan kemampuan mereka masuk begitu saja dalam kontainer atau meloncat tinggi ke udara dengan mudah, kucing memang berhasil membuktikan diri sebagai maskot di dunia maya.
Kucing di internet dimaknai sebagai spesies lucu yang memiliki tugas mulia: menjadi pereda stress pengguna internet. Meski demikian, kucing sejatinya bukan cuma binatang yang enak buat dielus.
Kucing di internet dimaknai sebagai spesies lucu yang memiliki tugas mulia: menjadi pereda stress pengguna internet. Meski demikian, kucing sejatinya bukan cuma binatang yang enak buat dielus.
Hal ini ditunjukan dalam Kedi, film dokumenter garapan Ceyda Torun tentang kehidupan kucing jalanan di Istambul. Lewat karya Torun, kita disadarkan bahwa kucing ialah entitas yang memiliki kepribadian. Kucing adalah penghubung antara kita dan Tuhan.
Mulai dari patung dari jaman Mesir kuno, kumpulan puisi Old Possum's Book of Practical Cats karya TS Elliot sampai teater musikal Andrew Lloyd Webber, kucing telah menjadi inspirasi bagi karya-karya seni agung selama ribuan tahun—Kedi menambah daftar panjang itu.
Dalam budaya Islam, kucing adalah binatang yang suci, kerap dianggap sebagai hewan kesayangan Nabi Muhammad. Dalam satu hadist disebutkan bahwa Nabi Muhammad sampai hari memotong lengan bajunya, saking tak mau membangunkan kucing yang tertidur di jubahnya. Kini, penghuni perumahan atau pemilik toko kerap meninggalkan makanan kucing dan membiarkan kucing datang pergi semau mereka.
Di sebuah adegan yang lucu di film Kedi, seorang penjual roti menceritakan bagaimana warga di lingkungannya punya "jadwal piket" membawa Scrappy (sebutannya "Player") ke dokter hewan. Di adegan lain, mereka menggambarkan bagaimana kucing lain, Duman (sebutannya "Gentleman") datang ke toko dan menggarukan cakarnya ke jendela saat minta diberi makan, padahal pintu toko sedang terbuka lebar.
"Film Kucing dari Istambul," begitu saya menjuluki Kedi, sepertinya sangat keren—karcis pemutaran film dokumenter di New York ini ludes dibeli akhir minggu lalu. Tapi, meski Kedi bakal menyuburkan hasrat untuk mengelus-ngelus kucing kampung di sekitar anda, film ini bukan film eskapis murni.
Ada simpulan tersembunyi tentang dunia di sekitar kucing—entah itu yang bersifat politis (gambar grafitti "Erdo-GONE") atau yang emosional (pengakuan perawat kucing yang mengatakan kucing mereka bisa menyembuh nervous breakdown)—yang menggambarkan betapa cepatnya dunia berubah. Yang pasti, pasca menonton ini. Saya pastikan anda akan jatuh cinta sekaligus khawatir akan ancaman yang mereka hadapi.
Saya bicara dengan Torun lewat sambungan telepon mengenai debut filmnya di jaringan bioskop Amerika Serikat.
Mulai dari patung dari jaman Mesir kuno, kumpulan puisi Old Possum's Book of Practical Cats karya TS Elliot sampai teater musikal Andrew Lloyd Webber, kucing telah menjadi inspirasi bagi karya-karya seni agung selama ribuan tahun—Kedi menambah daftar panjang itu.
Dalam budaya Islam, kucing adalah binatang yang suci, kerap dianggap sebagai hewan kesayangan Nabi Muhammad. Dalam satu hadist disebutkan bahwa Nabi Muhammad sampai hari memotong lengan bajunya, saking tak mau membangunkan kucing yang tertidur di jubahnya. Kini, penghuni perumahan atau pemilik toko kerap meninggalkan makanan kucing dan membiarkan kucing datang pergi semau mereka.
Di sebuah adegan yang lucu di film Kedi, seorang penjual roti menceritakan bagaimana warga di lingkungannya punya "jadwal piket" membawa Scrappy (sebutannya "Player") ke dokter hewan. Di adegan lain, mereka menggambarkan bagaimana kucing lain, Duman (sebutannya "Gentleman") datang ke toko dan menggarukan cakarnya ke jendela saat minta diberi makan, padahal pintu toko sedang terbuka lebar.
"Film Kucing dari Istambul," begitu saya menjuluki Kedi, sepertinya sangat keren—karcis pemutaran film dokumenter di New York ini ludes dibeli akhir minggu lalu. Tapi, meski Kedi bakal menyuburkan hasrat untuk mengelus-ngelus kucing kampung di sekitar anda, film ini bukan film eskapis murni.
Ada simpulan tersembunyi tentang dunia di sekitar kucing—entah itu yang bersifat politis (gambar grafitti "Erdo-GONE") atau yang emosional (pengakuan perawat kucing yang mengatakan kucing mereka bisa menyembuh nervous breakdown)—yang menggambarkan betapa cepatnya dunia berubah. Yang pasti, pasca menonton ini. Saya pastikan anda akan jatuh cinta sekaligus khawatir akan ancaman yang mereka hadapi.
Saya bicara dengan Torun lewat sambungan telepon mengenai debut filmnya di jaringan bioskop Amerika Serikat.
Kenapa anda membuat film dokumenter kucing jalanan?
Ceyda Torun: Saya tumbuh besar di Istambul dikelilingi oleh kucing-kucing. Jadi, cinta saya pada kucing sudah tumbuh sejak kecil. Namun, hubungan antara kucing dan penduduk Turki memang sangat intim. Bahkan, warga asing bisa langsung melihat keakraban warga dan kucing di Istambul. Kami juga ingin menjelajahi Istambul dan budayanya lewat hewan-hewan ini, untuk menggambarkan Istambul selain dari keterangan para jurnalis dan pemandu wisata.
Ada tantangan dalam menghadirkan sudut pandang kucing? Apa kamu terus membiarkan kamera merekam kucing di semua lokasi, setiap saat?
Kami tidak menaruh kamera di tempat tertentu karena itu sulit dan repot. Istambul kota yang besar, ada banyak orang. Belum lagi, kucing aktif bergerak dalam wilayah mereka. Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah kucing bergerak secara horizontal dan vertikal. Mereka menjelajah kota ini secara tiga dimensi. Ini yang bikin kami sudah memasang kamera.
Cara paling gampang untuk mengambil gambar adalah dengan menggunakan kru kecil yang jalan-jalan keliling kota dalam mobil Van. kami menggunakan warga Istambul sebagai informan—mereka akan menelepon kami dan bilang "Kucing itu sudah balik, kalian harus segera kemari." Kucing sangat lekat dengan manusia. Makanya, kami bisa melacak kucing dengan melacak warga Istambul.
Ceyda Torun: Saya tumbuh besar di Istambul dikelilingi oleh kucing-kucing. Jadi, cinta saya pada kucing sudah tumbuh sejak kecil. Namun, hubungan antara kucing dan penduduk Turki memang sangat intim. Bahkan, warga asing bisa langsung melihat keakraban warga dan kucing di Istambul. Kami juga ingin menjelajahi Istambul dan budayanya lewat hewan-hewan ini, untuk menggambarkan Istambul selain dari keterangan para jurnalis dan pemandu wisata.
Ada tantangan dalam menghadirkan sudut pandang kucing? Apa kamu terus membiarkan kamera merekam kucing di semua lokasi, setiap saat?
Kami tidak menaruh kamera di tempat tertentu karena itu sulit dan repot. Istambul kota yang besar, ada banyak orang. Belum lagi, kucing aktif bergerak dalam wilayah mereka. Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah kucing bergerak secara horizontal dan vertikal. Mereka menjelajah kota ini secara tiga dimensi. Ini yang bikin kami sudah memasang kamera.
Cara paling gampang untuk mengambil gambar adalah dengan menggunakan kru kecil yang jalan-jalan keliling kota dalam mobil Van. kami menggunakan warga Istambul sebagai informan—mereka akan menelepon kami dan bilang "Kucing itu sudah balik, kalian harus segera kemari." Kucing sangat lekat dengan manusia. Makanya, kami bisa melacak kucing dengan melacak warga Istambul.
Apa menurutmu jumlah kucing sudah berlebihan? Kucing itu lucu dan saya suka itu. Aku cuma penasaran apa memang kucing liar di Istambul banyak sekali?
Kami memang tidak berusaha menambah populasi kucing, sebaliknya kami juga tak melakukan apa-apa untuk mengurangi populasi kucing. Di beberapa bagian kota, operasi tangkap-netralkan-kembali berjalan dengan baik. Alhasil, di lingkungan tersebut banyak terdapat kucing dewasa dan kucing tua.
Anak-anak kucing yang terlihat dalam film berasal dari pelelangan ikan—tempat kapal besar penangkap ikan datang membawa hasil tangkap mereka. Ini kan tempat yang tak ditinggali manusia. Di kawasan ini, populasi kucing tak terkontrol. Jadi jangan aneh kalau banyak anak kucing di sana.
Pengambilan gambar Kedi dilakukan pada bulan April dan Mei 2016. Ini bulan-bulan kucing liar banyak melahirkan. Selama syuting kami rutin melihat kucing hamil. Mereka langsung mengambil alih tempat kami meletakkan alat-alat. Mereka menjadikan kotak-kotak kru sebagai tempat melahirkan. Kucing sangat bergantung pada manusia: kucing hamil bisa muncul di balkon rumahmu, lalu menyelinap masuk ke dalam untuk melahirkan. Siapapun tak akan tega mengusir mereka.
Ada percakapan hampir di akhir film bahwa kebijakan Istambul pada kucing kini berubah. Anda meramal kelangsungan hidup kucing akan terancam. Bisa jelaskan apa ancamannya?
Saya tak akan menyebutkan sebagai "gentrifikasi," karena yang terjadi bukan sebuah komunitas dan suatu lingkungan yang berubah jadi lebih sulit ditinggali. Yang terjadi adalah bagaimana kawasan perumahan makin naik nilainya karena populasi manusia meningkat dengan cepat.
Ketika saya masih kecil di Istambul, populasi kota ini hanya empat juta orang—sekarang angkanya sudah mencapai 20 juta orang. Nah, yang jadi ancaman bagi kucing adalah kecenderungan pemerintah untuk mendahulukan kepentingan kita, dalam hal ini kebutuhan perumahan, bukannya memikirkan perkembangan kota dari sudut pandang yang strategis. Istambul tumbuh dengan pesat sejak tahun 1980-an.
Sayangnya, pertumbuhan ini tidak tertata dengan baik. Kucing jadi kehilangan ruang hidup mereka.
Setiap kali ketika bicara nasib kucing jalanan, pemerintah akan bicara seperti ini "mari kita kumpulkan kucing-kucing ini dan taruh dalam satu penampungan karena populasi kucing yang tinggi tidak sesuai dengan standar Uni Eropa."
Lalu orang bereaksi dengan membuat gerakan memelihara kucing jalan. Lalu, sepuluh ribuan orang turun menentang kebicakan ini. Ini kebiasaan lima tahunan. Intinya, selalu ada ancaman bagi para kucing. Mereka bakal hilang atau terpaksa hidup dengan cara yang berbeda. Ini yang memotivasi saya membuat film ini.
Beberapa review film ini mengatakan Kedi tidak kritis pada pemerintah Turki. Menurutmu bagaimana?
Saya pikir orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Ya engga apa-apa juga—tak semua orang harus jadi aktivis film. Kucing-kucing di Istambul dan hubungan mereka dengan manusia jauh lebih besar dari setiap pemerintah dan masalah politik di dunia ini.
Tapi, politik selalu punya pengaruh kuat dalam tindakan yang saya ambil. Buat saya, selalu ada cara untuk bicara tentang politik tanpa harus membuat agenda tertentu begitu kentara film. Kedi perlu dimaknai lebih dari sekadar pengalaman, film ini lebih mirip sebuah proses berpikir. Saya termotivasi membuat film yang membuat penontonnya merasa memangku kucing dari jalanan Istambul berjam-jam dan tak bisa bergerak karenanya.
Rasanya luar baisa. Kucing-kucing itu terasa hangat. Mereka tiba-tiba mendengkur. Mereka membiarkan kita memelihara mereka tanpa harus kagok melakukannya. Seketika, anda tak lagi asik memerika telepon pintar anda. Anda tak lagi bicara dengan teman anda. Anda hanya fokus pada pengalaman itu, sekaligus dipandu oleh hewan yang kini tidur di pangkuan anda.
Kamu punya kucing?
Tidak, saya tak punya kucing yang saya pelihara sendiri. Saya rutin berpergian jadi rasanya itu bakal tak adil bagi kucing peliharaan. Saya lebih senang menyayangi kucing dan anjing milik orang lain.
Follow Lauren Oyler di Twitter.
Kami memang tidak berusaha menambah populasi kucing, sebaliknya kami juga tak melakukan apa-apa untuk mengurangi populasi kucing. Di beberapa bagian kota, operasi tangkap-netralkan-kembali berjalan dengan baik. Alhasil, di lingkungan tersebut banyak terdapat kucing dewasa dan kucing tua.
Anak-anak kucing yang terlihat dalam film berasal dari pelelangan ikan—tempat kapal besar penangkap ikan datang membawa hasil tangkap mereka. Ini kan tempat yang tak ditinggali manusia. Di kawasan ini, populasi kucing tak terkontrol. Jadi jangan aneh kalau banyak anak kucing di sana.
Pengambilan gambar Kedi dilakukan pada bulan April dan Mei 2016. Ini bulan-bulan kucing liar banyak melahirkan. Selama syuting kami rutin melihat kucing hamil. Mereka langsung mengambil alih tempat kami meletakkan alat-alat. Mereka menjadikan kotak-kotak kru sebagai tempat melahirkan. Kucing sangat bergantung pada manusia: kucing hamil bisa muncul di balkon rumahmu, lalu menyelinap masuk ke dalam untuk melahirkan. Siapapun tak akan tega mengusir mereka.
Ada percakapan hampir di akhir film bahwa kebijakan Istambul pada kucing kini berubah. Anda meramal kelangsungan hidup kucing akan terancam. Bisa jelaskan apa ancamannya?
Saya tak akan menyebutkan sebagai "gentrifikasi," karena yang terjadi bukan sebuah komunitas dan suatu lingkungan yang berubah jadi lebih sulit ditinggali. Yang terjadi adalah bagaimana kawasan perumahan makin naik nilainya karena populasi manusia meningkat dengan cepat.
Ketika saya masih kecil di Istambul, populasi kota ini hanya empat juta orang—sekarang angkanya sudah mencapai 20 juta orang. Nah, yang jadi ancaman bagi kucing adalah kecenderungan pemerintah untuk mendahulukan kepentingan kita, dalam hal ini kebutuhan perumahan, bukannya memikirkan perkembangan kota dari sudut pandang yang strategis. Istambul tumbuh dengan pesat sejak tahun 1980-an.
Sayangnya, pertumbuhan ini tidak tertata dengan baik. Kucing jadi kehilangan ruang hidup mereka.
Setiap kali ketika bicara nasib kucing jalanan, pemerintah akan bicara seperti ini "mari kita kumpulkan kucing-kucing ini dan taruh dalam satu penampungan karena populasi kucing yang tinggi tidak sesuai dengan standar Uni Eropa."
Lalu orang bereaksi dengan membuat gerakan memelihara kucing jalan. Lalu, sepuluh ribuan orang turun menentang kebicakan ini. Ini kebiasaan lima tahunan. Intinya, selalu ada ancaman bagi para kucing. Mereka bakal hilang atau terpaksa hidup dengan cara yang berbeda. Ini yang memotivasi saya membuat film ini.
Beberapa review film ini mengatakan Kedi tidak kritis pada pemerintah Turki. Menurutmu bagaimana?
Saya pikir orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Ya engga apa-apa juga—tak semua orang harus jadi aktivis film. Kucing-kucing di Istambul dan hubungan mereka dengan manusia jauh lebih besar dari setiap pemerintah dan masalah politik di dunia ini.
Tapi, politik selalu punya pengaruh kuat dalam tindakan yang saya ambil. Buat saya, selalu ada cara untuk bicara tentang politik tanpa harus membuat agenda tertentu begitu kentara film. Kedi perlu dimaknai lebih dari sekadar pengalaman, film ini lebih mirip sebuah proses berpikir. Saya termotivasi membuat film yang membuat penontonnya merasa memangku kucing dari jalanan Istambul berjam-jam dan tak bisa bergerak karenanya.
Rasanya luar baisa. Kucing-kucing itu terasa hangat. Mereka tiba-tiba mendengkur. Mereka membiarkan kita memelihara mereka tanpa harus kagok melakukannya. Seketika, anda tak lagi asik memerika telepon pintar anda. Anda tak lagi bicara dengan teman anda. Anda hanya fokus pada pengalaman itu, sekaligus dipandu oleh hewan yang kini tidur di pangkuan anda.
Kamu punya kucing?
Tidak, saya tak punya kucing yang saya pelihara sendiri. Saya rutin berpergian jadi rasanya itu bakal tak adil bagi kucing peliharaan. Saya lebih senang menyayangi kucing dan anjing milik orang lain.
Follow Lauren Oyler di Twitter.
Related Post =