
S
emenjak Mbak Dinik yang berwajah cantik itu berkenalan dengan seorang pemuda berwajah ganteng, Kitty jadi dicuekin dan ditelantarkan. Padahal sebelumnya, jika Mbak Dinik tidak bertemu dengan Kitty sehari saja, pasti ia akan marah-marah tak karuan pada Bi Inah, pembantu di rumahnya. Lantas segera menyuruh Bi Inah untuk mencari keberadaan Kitty sampai ketemu.
Jangan Panggil Aku Kitty adalah sebuah novel fabel yang unik, menarik, dan sarat hikmah. Bercerita tentang suka-duka kehidupan seekor kucing yang penuh perjuangan di tengah-tengah alam bebas yang terkadang tak selalu ramah dan penuh dengan marabahaya. Kitty adalah nama seekor kucing berbulu hitam pekat. Dulu, sewaktu masih kecil, ia secara tak sengaja ditemukan oleh Mbak Dinik di pinggiran got dekat rumah. Karena merasa kasihan dan memang senang terhadap hewan berbulu, Mbak Dinik lantas memutuskan untuk memiara kucing imut itu dan kemudian diberi nama Kitty.
Selama berada di rumah Mbak Dinik, Kitty diperlakukan dengan sangat baik dan dimanjakan selayaknya manusia. Kitty sering diajak jalan-jalan oleh Mbak Dinik ke City Walk setiap hari Minggu pagi (halaman 11). Bahkan seminggu sekali, Kitty dibawa Mbak Dinik ke ‘pet’ salon. Kitty merasa senang bukan main karena bulu-bulunya, meskipun berwarna hitam pekat, namun lama kelamaan menjadi halus, wangi, semakin mengkilat dan tentu saja memikat banyak orang (halaman 15).
Hingga pada suatu hari, Kitty memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah Mbak Dinik, tepatnya setelah Mbak Dinik lebih memilih kucing lain yang lebih gemuk, cantik, dan berbulu tebal. Kitty lantas memutuskan untuk bertualang di alam bebas, alam sebenarnya bagi para hewan untuk menjalani kehidupan alaminya tanpa ada seorang pun yang mengekang (halaman 22). Di alam bebas itulah Kitty baru bisa merasakan kehidupan sesungguhnya yang penuh dengan marabahaya, persaingan antara sesama kucing, dan tak jarang harus berhadapan dengan hal-hal lain yang bisa membahayakan nyawanya.
Kitty juga menemukan hikmah dan pengalaman hidup tak terlupakan yang sangat berharga dan tak pernah ia dapatkan sewaktu masih tinggal di rumah Mbak Dinik. Di alam bebas, Kitty benar-benar harus berjuang mencari makanan sendiri dan itu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Kitty pun semakin menyadari, bahwa dirinya bukanlah kucing imut lagi. Dia sekarang adalah kucing jantan dewasa yang telah mulai terpikat dengan lawan jenisnya (halaman 26-38).
Ketika hidup di jalanan, Kitty dipertemukan dengan sahabat-sahabat baru yang senasib, hidup terlunta-lunta tanpa tempat tinggal yang jelas. Persahabatan yang tulus, saling memberi dan menerima pun terjalin secara alamiah di antara mereka. Seperti pada saat Kitty mengalami luka cukup parah setelah berkelahi dengan Garong, kucing jagoan paling ditakuti oleh para kucing yang menguasai Pasar Nongko. Merasa kasihan melihat Kitty terluka parah, empat ekor kucing yang kebetulan melihat peristiwa perkelahian itu lantas bersepakat untuk menolong Kitty. Mereka dengan tulus, tanpa mengharap pamrih, bersama-sama merawat dan saling bahu membahu menyediakan makanan hingga akhirnya Kitty sembuh, sehat seperti sediakala. Mereka pun kemudian bersahabat dengan baik, berusaha selalu menolong sesama yang tengah membutuhkan uluran bantuan (halaman 97-109).
Hidup liar di jalanan juga mengharuskan Kitty pandai-pandai menjaga diri dan berusaha mencari tempat beristirahat yang aman sekaligus nyaman. Seperti tidur di atap rumah-rumah warga dan pasar (halaman 39). Sesekali waktu, Kitty mengalami kejadian menjengkelkan, tepatnya saat ia menyambangi rumah milik seorang dukun yang kerap didatangi orang-orang dari berbagai status sosial. Kitty benar-benar tak habis pikir, masa sih, manusia yang diberi anugerah akal oleh Tuhan malah menganggap dirinya sebagai titisan Mbah Jaliteng Condromowo, pendamping keris ampuh milik dukun tersebut. Namun, di sisi lain Kitty merasa senang, karena dukun tersebut sering mnyediakan sepiring daging spesial untuk dirinya.
Novel ini meninggalkan banyak pesan moral kepada para pembaca. Kejadian-kejadian yang dialami oleh Kitty bersama teman-temannya, setidaknya mampu menyentil kesadaran kita sebagai manusia berakal yang terkadang memiliki jiwa serakah, senang mengedepankan ego, tak mau mengalah, dan sering tak acuh dengan sesama yang tengah membutuhkan uluran pertolongan.
Mari, kita belajar berjiwa sosial melalui novel yang cukup menarik, inspiratif, seru, menegangkan, mengharu biru dan diwarnai kekocakan ini.
__________________________________
Judul Buku: Jangan Panggil Aku Kitty
Penulis: Samsaimo Paramina
Penerbit: FlashBooks, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2013
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-7724-34-1
Hingga pada suatu hari, Kitty memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah Mbak Dinik, tepatnya setelah Mbak Dinik lebih memilih kucing lain yang lebih gemuk, cantik, dan berbulu tebal. Kitty lantas memutuskan untuk bertualang di alam bebas, alam sebenarnya bagi para hewan untuk menjalani kehidupan alaminya tanpa ada seorang pun yang mengekang (halaman 22). Di alam bebas itulah Kitty baru bisa merasakan kehidupan sesungguhnya yang penuh dengan marabahaya, persaingan antara sesama kucing, dan tak jarang harus berhadapan dengan hal-hal lain yang bisa membahayakan nyawanya.
Kitty juga menemukan hikmah dan pengalaman hidup tak terlupakan yang sangat berharga dan tak pernah ia dapatkan sewaktu masih tinggal di rumah Mbak Dinik. Di alam bebas, Kitty benar-benar harus berjuang mencari makanan sendiri dan itu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Kitty pun semakin menyadari, bahwa dirinya bukanlah kucing imut lagi. Dia sekarang adalah kucing jantan dewasa yang telah mulai terpikat dengan lawan jenisnya (halaman 26-38).
Ketika hidup di jalanan, Kitty dipertemukan dengan sahabat-sahabat baru yang senasib, hidup terlunta-lunta tanpa tempat tinggal yang jelas. Persahabatan yang tulus, saling memberi dan menerima pun terjalin secara alamiah di antara mereka. Seperti pada saat Kitty mengalami luka cukup parah setelah berkelahi dengan Garong, kucing jagoan paling ditakuti oleh para kucing yang menguasai Pasar Nongko. Merasa kasihan melihat Kitty terluka parah, empat ekor kucing yang kebetulan melihat peristiwa perkelahian itu lantas bersepakat untuk menolong Kitty. Mereka dengan tulus, tanpa mengharap pamrih, bersama-sama merawat dan saling bahu membahu menyediakan makanan hingga akhirnya Kitty sembuh, sehat seperti sediakala. Mereka pun kemudian bersahabat dengan baik, berusaha selalu menolong sesama yang tengah membutuhkan uluran bantuan (halaman 97-109).
Hidup liar di jalanan juga mengharuskan Kitty pandai-pandai menjaga diri dan berusaha mencari tempat beristirahat yang aman sekaligus nyaman. Seperti tidur di atap rumah-rumah warga dan pasar (halaman 39). Sesekali waktu, Kitty mengalami kejadian menjengkelkan, tepatnya saat ia menyambangi rumah milik seorang dukun yang kerap didatangi orang-orang dari berbagai status sosial. Kitty benar-benar tak habis pikir, masa sih, manusia yang diberi anugerah akal oleh Tuhan malah menganggap dirinya sebagai titisan Mbah Jaliteng Condromowo, pendamping keris ampuh milik dukun tersebut. Namun, di sisi lain Kitty merasa senang, karena dukun tersebut sering mnyediakan sepiring daging spesial untuk dirinya.
Novel ini meninggalkan banyak pesan moral kepada para pembaca. Kejadian-kejadian yang dialami oleh Kitty bersama teman-temannya, setidaknya mampu menyentil kesadaran kita sebagai manusia berakal yang terkadang memiliki jiwa serakah, senang mengedepankan ego, tak mau mengalah, dan sering tak acuh dengan sesama yang tengah membutuhkan uluran pertolongan.
Mari, kita belajar berjiwa sosial melalui novel yang cukup menarik, inspiratif, seru, menegangkan, mengharu biru dan diwarnai kekocakan ini.
__________________________________
Judul Buku: Jangan Panggil Aku Kitty
Penulis: Samsaimo Paramina
Penerbit: FlashBooks, Yogyakarta
Cetakan: I, Maret 2013
Tebal: 188 halaman
ISBN: 978-602-7724-34-1