Angka kasus COVID-19 di Indonesia mulai turun namun kondisi sektor pariwisata belum juga pulih. Begitu pula yang dialami Taman Safari Indonesia (TSI).
Sejak tutup pada awal Juli karena pemberlakuan PPKM dan kembali buka pada pertengahan Agustus lalu, situasi TSI belum kembali pulih seperti semula. Akan tetapi TSI tetap menemukan jalan keluar dari segala kendala yang dihadapi.
Sejak tutup pada awal Juli karena pemberlakuan PPKM dan kembali buka pada pertengahan Agustus lalu, situasi TSI belum kembali pulih seperti semula. Akan tetapi TSI tetap menemukan jalan keluar dari segala kendala yang dihadapi.
General Manager TSI, Emeraldo, mengungkapkan ada sederet alternatif yang dilakukan TSI untuk mengatasi kendala di kala harus tutup, hingga saat ini. Pemberhentian karyawan tidak termasuk dalam daftar solusi yang mereka lakukan.
Emeraldo mengatakan bahwa ada 2 biaya operasional tertinggi yang perlu TSI keluarkan setiap bulannya, yaitu biaya perawatan satwa dan SDM. Kedua sektor tersebut tetap harus dibayarkan walaupun TSI berada di masa 0 pengunjung sekalipun.
Untuk perawatan satwa, di pakan misalnya, TSI memberlakukan alternatif. Mereka mengganti jenis pakan hewannya namun tetap dengan kandungan gizi yang sama.
"Intinya bagaimana caranya supaya satwa itu bisa terawat tanpa harus kekurangan gizi. Nah gizinya itu yang kita atur. Misalnya dia kandungannya itu harus protein berapa persen, proteinnya itu bisa diambil dari alternatif," ungkap Aldo.
Aldo memberikan contoh untuk hewan karnivora, yang sebelumnya mereka mengonsumsi daging merah, sekarang dicampur porsinya dengan daging putih. Dengan kadar gizi yang sama, TSI bisa sedikit melakukan penghematan dengan cara itu.
Solusi untuk krisis pakan selanjutnya adalah TSI mulai menggarap lahan kosong mereka untuk ditanami sayuran sebagai bahan dasar pakan satwanya.
Masyarakat pun turut membantu TSI memenuhi pakan satwanya. Pertanian daerah sekitar sering kali memberikan jerami milik mereka, yang merupakan pakan utama satwa gajah, kepada TSI.
Selain pertanian setempat, komunitas pecinta hewan dan perusahaan-perusahaan juga turut membantu TSI mengatasi krisis pakan satwanya. Aldo mengungkapkan hal itu sangat membantu bagi TSI.
"Dapat bantuan dari warga atau beberapa perusahaan yang punya kepedulian terhadap hewan, mereka bantu. Ada komunitas pecinta hewan, ada juga perusahaan yang membantu melalui CSR mereka. Itu kita sangat terbantu juga sih dari situ," ujarnya.
Emeraldo mengatakan bahwa ada 2 biaya operasional tertinggi yang perlu TSI keluarkan setiap bulannya, yaitu biaya perawatan satwa dan SDM. Kedua sektor tersebut tetap harus dibayarkan walaupun TSI berada di masa 0 pengunjung sekalipun.
Untuk perawatan satwa, di pakan misalnya, TSI memberlakukan alternatif. Mereka mengganti jenis pakan hewannya namun tetap dengan kandungan gizi yang sama.
"Intinya bagaimana caranya supaya satwa itu bisa terawat tanpa harus kekurangan gizi. Nah gizinya itu yang kita atur. Misalnya dia kandungannya itu harus protein berapa persen, proteinnya itu bisa diambil dari alternatif," ungkap Aldo.
Aldo memberikan contoh untuk hewan karnivora, yang sebelumnya mereka mengonsumsi daging merah, sekarang dicampur porsinya dengan daging putih. Dengan kadar gizi yang sama, TSI bisa sedikit melakukan penghematan dengan cara itu.
Solusi untuk krisis pakan selanjutnya adalah TSI mulai menggarap lahan kosong mereka untuk ditanami sayuran sebagai bahan dasar pakan satwanya.
Masyarakat pun turut membantu TSI memenuhi pakan satwanya. Pertanian daerah sekitar sering kali memberikan jerami milik mereka, yang merupakan pakan utama satwa gajah, kepada TSI.
Selain pertanian setempat, komunitas pecinta hewan dan perusahaan-perusahaan juga turut membantu TSI mengatasi krisis pakan satwanya. Aldo mengungkapkan hal itu sangat membantu bagi TSI.
"Dapat bantuan dari warga atau beberapa perusahaan yang punya kepedulian terhadap hewan, mereka bantu. Ada komunitas pecinta hewan, ada juga perusahaan yang membantu melalui CSR mereka. Itu kita sangat terbantu juga sih dari situ," ujarnya.
Related Post