Pemeliharaan satwa liar akhir-akhir ini menjadi topik perbincangan panas di media sosial. Topik ini mulai ramai berawal dari cuitan akun Twitter @piyopikavet milik drh. Purbo yang bertuliskan, “Anda marah liat harimau mati dijerat tapi muji2 dan kagum ama influencer piara harimau. Gapaham lg gw. Lo itu problematik”.
Cuitan itu telah diretweet sebanyak 10 ribu kali oleh pengguna Twitter dan sangat ramai diperbincangkan. Seperti yang kita tahu, saat ini sangat marak kasus pemeliharaan satwa liar yang sangat kasat mata.
Cuitan itu telah diretweet sebanyak 10 ribu kali oleh pengguna Twitter dan sangat ramai diperbincangkan. Seperti yang kita tahu, saat ini sangat marak kasus pemeliharaan satwa liar yang sangat kasat mata.
Banyak influencer secara tidak sadar mempromosikan pemeliharaan satwa liar. Oleh karena itu, pemeliharaan satwa liar menjadi tren baru di masyarakat. Tak main-main, hewan yang dipelihara adalah kelas kucing besar seperti harimau bahkan kelas kucing kecil seperti kucing hutan. Kelas primata seperti monyet atau beruk juga mulai marak disosialisasikan untuk dipelihara dan masih banyak lagi.
Namun, akibat permasalahan ini netizen terbagi dalam kelompok pro dan kontra. Netizen pada kelompok pro terhadap pemeliharaan satwa liar berasumsi bahwa pemeliharaan satwa liar boleh saja dilakukan apabila orang tersebut dapat mencukupi kebutuhannya dan membuatnya lebih aman dan nyaman karena tidak adanya kegiatan berburu makanan ataupun bersaing dengan satwa lain dan juga terhindar dari perburuan liar.
Sedangkan netizen pada kelompok kontra berasumsi bahwa pemeliharaan satwa liar tidak pantas dilakukan karena tidak memenuhi salah satu prinsip five of freedoms yaitu dibatasi dalam berperilaku sesuai alamiahnya. Menurut kelompok kontra, biarkan mereka hidup di habitat aslinya dan melakukan aktivitas alamiahnya sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Menurut drh. Purbo, seorang influencer boleh saja menjadi seorang penangkar namun, harus memperlakukan satwa liar sebagai hewan penangkaran, bukan hewan peliharaan. Hal tersebut harus dilakukan karena penangkaran harus menerapkan prinsip five of freedom dimana juga termasuk memperbolehkan satwa tersebut berperilaku alamiah.
Menurut pendapat akun Twitter @shirohyde, jika berniat membantu konservasi dan akan membuat konten satwa liar di area konservasi, sebaiknya dalam pembuatan kontennya satwa liar diberi kebebasan dalam berperilaku alamiah, tidak perlu digendong, peluk, atau pun dicium. Hal ini juga dapat membantu dalam penyampaian edukasi terkait perilaku alamiah satwa liar di habitatnya.
drh. Purba mengatakan bahwa terdapat peraturan dan tata cara dalam mendokumentasikan satwa liar baik dalam bentuk foto maupun video yang dibuat IUCN (Badan Konservasi Dunia). Selain itu, SMACC (Social Media Animal Cruelty Coalition) telah menggolongkan konten memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan termasuk ke dalam salah satu bentuk kekerasan pada hewan.
Namun, akibat permasalahan ini netizen terbagi dalam kelompok pro dan kontra. Netizen pada kelompok pro terhadap pemeliharaan satwa liar berasumsi bahwa pemeliharaan satwa liar boleh saja dilakukan apabila orang tersebut dapat mencukupi kebutuhannya dan membuatnya lebih aman dan nyaman karena tidak adanya kegiatan berburu makanan ataupun bersaing dengan satwa lain dan juga terhindar dari perburuan liar.
Sedangkan netizen pada kelompok kontra berasumsi bahwa pemeliharaan satwa liar tidak pantas dilakukan karena tidak memenuhi salah satu prinsip five of freedoms yaitu dibatasi dalam berperilaku sesuai alamiahnya. Menurut kelompok kontra, biarkan mereka hidup di habitat aslinya dan melakukan aktivitas alamiahnya sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Menurut drh. Purbo, seorang influencer boleh saja menjadi seorang penangkar namun, harus memperlakukan satwa liar sebagai hewan penangkaran, bukan hewan peliharaan. Hal tersebut harus dilakukan karena penangkaran harus menerapkan prinsip five of freedom dimana juga termasuk memperbolehkan satwa tersebut berperilaku alamiah.
Menurut pendapat akun Twitter @shirohyde, jika berniat membantu konservasi dan akan membuat konten satwa liar di area konservasi, sebaiknya dalam pembuatan kontennya satwa liar diberi kebebasan dalam berperilaku alamiah, tidak perlu digendong, peluk, atau pun dicium. Hal ini juga dapat membantu dalam penyampaian edukasi terkait perilaku alamiah satwa liar di habitatnya.
drh. Purba mengatakan bahwa terdapat peraturan dan tata cara dalam mendokumentasikan satwa liar baik dalam bentuk foto maupun video yang dibuat IUCN (Badan Konservasi Dunia). Selain itu, SMACC (Social Media Animal Cruelty Coalition) telah menggolongkan konten memelihara satwa liar sebagai hewan peliharaan termasuk ke dalam salah satu bentuk kekerasan pada hewan.
Oleh karena itu, sebaiknya tidak dilakukan pemeliharaan satwa liar, jika menemukan satwa liar ataupun satwa yang punah lebih baik membawanya ke lembaga konservasi yang resmi. Apabila menemukan satwa liar yang sedang sakit dapat membawanya ke tempat rehabilitasi satwa liar agar dapat dilepasliarkan kembali.
Selain dampak yang dirasakan oleh satwa, manusia pun juga dapat terkena dampak dari maraknya pemeliharaan satwa liar ini. Deforestasi dan aktivitas perdagangan satwa liar termasuk pemeliharaannya dapat mendukung penyebaran penyakit yang zoonosis dapat berujung pandemi.
Jika satwa liar ada di tiap pemukiman dan berpotensi menyebarkan agen seperti virus, maka akan lebih banyak manusia yang terdampak penyakit zoonosis. Perusakan habitat satwa liar seperti hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab juga dapat menimbulkan terjadinya bencana alam dan beralihnya satwa liar ke pemukiman penduduk.
Oleh karena itu, keselamatan satwa dan habitatnya harus seimbang dan terjaga sebaik mungkin agar ekosistem berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Pemeliharaan satwa liar ini sebenarnya lebih membawa ke dampak yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Aksi pemeliharaan satwa liar ini pun dapat berbahaya bagi kelangsungan konservasi satwa liar di Indonesia.
Alih-alih membentuk sebuah lembaga konservasi sendiri yang sudah diberi izin, malah membuat satwa liar tersebut kehilangan hak-hak liarnya dan tidak memenuhi prinsip kesejahteraan hewan. Pemeliharaan satwa liar pun membuat angka perdagangan satwa liar semakin tinggi dan dapat berpotensi mengalami kepunahan pada beberapa spesies.
Menurut drh. Purba, jika ingin serius menyungsung konsep konservasi, lebih baik kita mendukung perlindungan habitat satwa liar, melestarikan alamnya agar tidak rusak, merestorasi alam, dan melakukan rehabilitasi pada satwa liar agar dapat dilepasliarkan kembali ke alamnya.
Mocca Cintaura Radya Safania
Mahasiswa Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
Related Post