Dia datang dengan tubuh penuh luka. Aku mengamatinya dengan sedih, dan ia juga menatapku dengan pandangan yang --kalau bisa kuartikan-- sendu. Wajahnya bulat, dengan bulatan hitam di kedua sisi keningnya, memberi sedikit kontras pada sekujur tubuhnya yang putih, kecuali ekornya --yang panjang-- juga berwarna hitam, dan kedua daun telinganya yang mencuat lancip bersemu kemerahan.
Kupandang sekali lagi, sekujur tubuhnya tampak kotor, dan pada bagian-bagian yang luka memperlihatkan darah kering yang meruapkan aroma anyir. Nyaris aku hendak mengusirnya, tapi sorot matanya seolah meminta belas kasihan dan perlindungan, juga tentu saja mengisyaratkan minta makanan.
Kupandang sekali lagi, sekujur tubuhnya tampak kotor, dan pada bagian-bagian yang luka memperlihatkan darah kering yang meruapkan aroma anyir. Nyaris aku hendak mengusirnya, tapi sorot matanya seolah meminta belas kasihan dan perlindungan, juga tentu saja mengisyaratkan minta makanan.
Sesaat aku merasa iba. Ia memang tak mengerang, atau memperlihatkan ekspresi kesakitan. Tapi, wajahnya jelas menyimpan penderitaan. Mengatakan "jelas" mungkin tak sepenuhnya benar, atau mewakili kenyataannya. Aku sebenarnya hanya menduga-duga. Masalahnya, siapa yang tahu apa yang dirasakan seekor kucing?
Untuk berapa saat lamanya ia tak mengatakan apa-apa. Maksudku, ia tak mengeong, hanya menatapku tajam. Sinar matanya menembus ke mataku --ya, aku bisa merasakannya, seolah memohon. Sekali lagi aku menatap ke arah lukanya, di bagian kaki, di leher, di tengkuk...aku bergidik. Apa yang harus kulakukan?
Segera kuambil segenggam dry food dari dapur, dan kutuangkan ke wadah plastik yang biasa aku sediakan untuk kucing yang sebelumnya sudah sering datang ke rumah. Jadi, dari mana kucing dengan tubuh penuh luka ini tahu, bahwa rumah ini menyediakan makanan bagi kucing-kucing yang datang? Apakah sesama kucing bisa saling memberi tahu?
Ia segera menyantap makanan yang kusodorkan dengan lahap sambil sesekali mengangkat kepalanya, menatap ke arahku, atau melihat ke arah belakang, entah sebagai isyarat apa. Aku tak sempat lagi memikirkannya. Melihatnya makan dengan lahap membuatku merasa sangat iba. Aku ingin mengelus kepalanya, tapi...kupikir, ah nanti saja, ia sedang menikmati makanannya.
Aku bangkit, melangkah ke pintu, dan bertanya pada bocah tetangga sebelah. "Kucing putih ini punya siapa ya?"
"Nggak tahu."
"Badannya luka-luka...."
"Suka berantem!"
Aku terdiam sesaat. "O, bukan karena disiksa orang ya?" tanyaku, mungkin naif. Tadinya aku memang berpikir, membatin, dengan setengah marah, siapa orang yang telah tega menganiaya kucing ini? Kalau memang tak mau memberi makan, ya sudah, usir saja, biar pergi, kenapa mesti disiksa?
Mendengar perkataan bocah tetanggaku itu, aku merasa lega. Maksudku, kalau memang luka-luka itu karena berantem, itu jauh lebih bisa "diterima" ketimbang seandainya ia dianiaya orang. Aku berpikir, mungkin dia memang kucing jantan yang bandel. Atau, semua kucing liar jantan yang bergentayangan di kampung memang bandel dan suka berantem?
Aku memang bukan pecinta kucing. Aku tak tahu-menahu apapun perihal binatang itu. Dulu, aku pernah membaca novel karya Mahbub Djunaidi, judulnya Angin Musim, tokoh utamanya seekor kucing. Tapi, novel itu sama sekali tak menjelaskan seluk-peluk dunia perkucingan, melainkan hanya cara sang pengarang untuk melihat dunia, mengkritik, dan mengomentari kehidupan, semacam --bahasa susahnya-- strategi diskursif untuk menyamarkan kritik sosial.
Maklum, novel itu terbit (pertama kali) pada zaman Orde Baru, zaman ketika segala suara kritis dibungkam. Dengan menggunakan sudut pandang seekor kucing, kau aman mengkritik apa saja, karena, ya semua itu hanyalah pikiran dan pandangan kucing belaka. Tapi, kucing yang berpikir dan mengkritik ini dan itu hanya ada dalam novel. Kenyataannya, kita tak pernah tahu apa yang dipikirkan kucing.
***
Aku mulai rutin membeli dry food untuk persediaan bagi kucing yang datang sejak seekor kucing betina berbulu putih, dengan belang hitam di beberapa bagian, dan berekor pendek, sering datang ke rumah. Awalnya, sebagaimana kebanyakan orang, aku mengusir kucing itu. Tapi, kucing itu selalu datang, dan setiap kali diusir ia bergeming, dan malah menatapku, dan mengeong. Suara eongannya lirih, sinar matanya bening, dan wajahnya --dalam amatanku-- cantik untuk ukuran seekor kucing betina.
Lama-lama aku jadi kasihan dan bahkan merasa bersalah kalau dia datang dan tak ada makanan secuil pun yang bisa kuberikan. Aku tahu, ada kios penjual makanan binatang di dekat rumahku, jadi aku berinisiatif membeli dry food makanan kucing, awalnya setengah kilo, dengan pikiran, siapa tahu, kucing liar itu tak doyan makanan bikinan pabrik. Ternyata, pertama kali aku sodorkan dalam wadah plastik, ia menyerbunya dan melahapnya seolah sudah berhari-hari tak berjumpa makanan.
Sejak itu, kucing betina berekor pendek itu selalu datang. Aku tak pernah tahu dari mana munculnya. Kadang aku baru berjalan menyusuri gang, dia sudah menguntit, berlari mendahuluiku, dan begitu pintu rumah kubuka, ia langsung menyerbu seperti topan badai yang siap menghancurkan semua benda yang ada di dalam rumah. Ia suka mengeong-ngeong, dan setelah melahap makanan yang kusodorkan, ia akan berjongkok, menggaruk-nggaruk tubuhnya, berguling, berjalan kian ke mari, seperti gelisah, lalu tak lama kemudian tidur di lantai, atau di atas kursi, kadang ke atas tumpukan buku-buku di atas meja.
Kubiarkan saja segala tingkahnya. Kupikir, itung-itung buat teman. Pagi hari, ia mengeong membangunkanku, minta makan. Sehabis mandi, aku membuka pintu, dan dia menyeruak keluar, dan menghilang entah ke mana. Untuk kemudian, nanti datang lagi ketika aku pulang kerja pada malam hari. Kadang-kadang, ia tidur lagi ketika aku hendak berangkat kerja, dan aku tak tega untuk membangunkannya. Jadi, kubiarkan ia terkunci di dalam rumah. Dan, ternyata ia kucing yang baik, tak memberantaki apapun, atau misalnya kencing sembarangan. Begitulah awalnya, dan lama-lama kucing itu telah menjadi bagian dari rumahku.
***
Entah bagaimana ceritanya, kucing jantan dengan tubuh penuh luka itu kemudian datang pada suatu pagi hari Sabtu, ketika aku libur dan sedang berada di rumah, dan pintu terbuka lebar. Apakah kucing betina berbulu pendek itu memberitahunya?
Sejak itu, mereka selalu datang berbarengan. Temanku jadi bertambah satu. Kadang-kadang, si kucing jantan itu datang dengan luka yang baru, setelah luka-luka yang sebelumnya telah kering dan pulih. Tak seperti si betina berekor pendek, ia tak pernah mengeong, dan juga tak banyak tingkah. Hanya satu yang menggangguku, badannya bau. Tapi, apa yang kuharapkan dari seekor kucing bandel yang suka berantem? Aku senang bisa memberinya makan. Sejak kemunculan si jantan berekor panjang itu, dry food yang kusediakan jadi habis lebih cepat, padahal belakangan aku mulai membeli satu kilo sekaligus.
Tapi, ada kebahagiaan yang sulit terlukiskan ketika melihat dua kucing itu muncul berbarengan, menyerbu mangkuk-mangkuk plastik yang kusodorkan. Aku mengamati mereka makan. Habis makan, mereka meregangkan badannya dengan menarik sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang ke arah yang berlawanan, sejauh-jauhnya, hingga tubuhnya jadi memanjang, lalu duduk di lantai, menggaruk-nggaruk badannya dengan kaki belakang, menguap, lalu meringkuk. Kuelus-elus satu per satu kepalanya. Ketika kuelus, mata mereka terpejam --aku mengartikannya mereka menikmati elusanku. Kadang-kadang aku mengajak mereka bicara apa saja.
"Tidur di sana...di kursi!"
"Tidur ya, aku mau baca buku."
Ketika aku bangkit, mereka mengangkat kepala, ikut bangkit, membututiku, mendusel-nduselkan kepalanya di tumitku. Aku bisa mengatakan, mungkin segala yang mereka lakukan hanya mengikuti nalurinya. Mungkin mereka ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Mungkin mereka bermaksud meminta perhatianku. Melihat kucing-kucing itu, kadang aku merasa iri. Mereka hidup mengalir saja. Bahkan untuk makan pun mereka seolah yakin, pasti akan ada orang yang memberinya.
Suatu kali, ketika aku mendapati mereka tidur sehabis makan pada pagi hari, aku memotretnya, dan sebelum berangkat kerja, aku unggah foto itu di Facebook, dengan caption, "Kamu enak, jam segini tidur!"
Tak sampai semenit, terbaca komentar dari seorang teman, "Jangan iri, setiap makhluk menjalani karmanya masing-masing."
Aku tersenyum, lalu berpikir, seandainya kelak karmaku berulang, aku ingin dilahirkan kembali menjadi seekor kucing. Kini, aku harus menjalani karmaku sebagai manusia, antara lain dengan rutinitas berangkat ke kantor setiap pagi. Aku bangkit dengan semacam semangat baru. Detak sepatu di lantai membangunkan kucing-kucing itu.
Mereka meregangkan badannnya, menguap, lalu berlari kecil membututiku.
"Kok bangun, tidur lagi sana!" kataku sambil berjongkok, mengelus sekali lagi kepala mereka. Si betina berekor pendek berguling manja. Si jantan berekor panjang yang badannya bau hanya memejamkan matanya. Ketika pintu hendak kututup, kupandangi mereka, seraya menunggu mereka berlarian keluar. Tapi, mereka hanya menatapku, tak bergerak, tak mengatakan apapun.
Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
Untuk berapa saat lamanya ia tak mengatakan apa-apa. Maksudku, ia tak mengeong, hanya menatapku tajam. Sinar matanya menembus ke mataku --ya, aku bisa merasakannya, seolah memohon. Sekali lagi aku menatap ke arah lukanya, di bagian kaki, di leher, di tengkuk...aku bergidik. Apa yang harus kulakukan?
Segera kuambil segenggam dry food dari dapur, dan kutuangkan ke wadah plastik yang biasa aku sediakan untuk kucing yang sebelumnya sudah sering datang ke rumah. Jadi, dari mana kucing dengan tubuh penuh luka ini tahu, bahwa rumah ini menyediakan makanan bagi kucing-kucing yang datang? Apakah sesama kucing bisa saling memberi tahu?
Ia segera menyantap makanan yang kusodorkan dengan lahap sambil sesekali mengangkat kepalanya, menatap ke arahku, atau melihat ke arah belakang, entah sebagai isyarat apa. Aku tak sempat lagi memikirkannya. Melihatnya makan dengan lahap membuatku merasa sangat iba. Aku ingin mengelus kepalanya, tapi...kupikir, ah nanti saja, ia sedang menikmati makanannya.
Aku bangkit, melangkah ke pintu, dan bertanya pada bocah tetangga sebelah. "Kucing putih ini punya siapa ya?"
"Nggak tahu."
"Badannya luka-luka...."
"Suka berantem!"
Aku terdiam sesaat. "O, bukan karena disiksa orang ya?" tanyaku, mungkin naif. Tadinya aku memang berpikir, membatin, dengan setengah marah, siapa orang yang telah tega menganiaya kucing ini? Kalau memang tak mau memberi makan, ya sudah, usir saja, biar pergi, kenapa mesti disiksa?
Mendengar perkataan bocah tetanggaku itu, aku merasa lega. Maksudku, kalau memang luka-luka itu karena berantem, itu jauh lebih bisa "diterima" ketimbang seandainya ia dianiaya orang. Aku berpikir, mungkin dia memang kucing jantan yang bandel. Atau, semua kucing liar jantan yang bergentayangan di kampung memang bandel dan suka berantem?
Aku memang bukan pecinta kucing. Aku tak tahu-menahu apapun perihal binatang itu. Dulu, aku pernah membaca novel karya Mahbub Djunaidi, judulnya Angin Musim, tokoh utamanya seekor kucing. Tapi, novel itu sama sekali tak menjelaskan seluk-peluk dunia perkucingan, melainkan hanya cara sang pengarang untuk melihat dunia, mengkritik, dan mengomentari kehidupan, semacam --bahasa susahnya-- strategi diskursif untuk menyamarkan kritik sosial.
Maklum, novel itu terbit (pertama kali) pada zaman Orde Baru, zaman ketika segala suara kritis dibungkam. Dengan menggunakan sudut pandang seekor kucing, kau aman mengkritik apa saja, karena, ya semua itu hanyalah pikiran dan pandangan kucing belaka. Tapi, kucing yang berpikir dan mengkritik ini dan itu hanya ada dalam novel. Kenyataannya, kita tak pernah tahu apa yang dipikirkan kucing.
***
Aku mulai rutin membeli dry food untuk persediaan bagi kucing yang datang sejak seekor kucing betina berbulu putih, dengan belang hitam di beberapa bagian, dan berekor pendek, sering datang ke rumah. Awalnya, sebagaimana kebanyakan orang, aku mengusir kucing itu. Tapi, kucing itu selalu datang, dan setiap kali diusir ia bergeming, dan malah menatapku, dan mengeong. Suara eongannya lirih, sinar matanya bening, dan wajahnya --dalam amatanku-- cantik untuk ukuran seekor kucing betina.
Lama-lama aku jadi kasihan dan bahkan merasa bersalah kalau dia datang dan tak ada makanan secuil pun yang bisa kuberikan. Aku tahu, ada kios penjual makanan binatang di dekat rumahku, jadi aku berinisiatif membeli dry food makanan kucing, awalnya setengah kilo, dengan pikiran, siapa tahu, kucing liar itu tak doyan makanan bikinan pabrik. Ternyata, pertama kali aku sodorkan dalam wadah plastik, ia menyerbunya dan melahapnya seolah sudah berhari-hari tak berjumpa makanan.
Sejak itu, kucing betina berekor pendek itu selalu datang. Aku tak pernah tahu dari mana munculnya. Kadang aku baru berjalan menyusuri gang, dia sudah menguntit, berlari mendahuluiku, dan begitu pintu rumah kubuka, ia langsung menyerbu seperti topan badai yang siap menghancurkan semua benda yang ada di dalam rumah. Ia suka mengeong-ngeong, dan setelah melahap makanan yang kusodorkan, ia akan berjongkok, menggaruk-nggaruk tubuhnya, berguling, berjalan kian ke mari, seperti gelisah, lalu tak lama kemudian tidur di lantai, atau di atas kursi, kadang ke atas tumpukan buku-buku di atas meja.
Kubiarkan saja segala tingkahnya. Kupikir, itung-itung buat teman. Pagi hari, ia mengeong membangunkanku, minta makan. Sehabis mandi, aku membuka pintu, dan dia menyeruak keluar, dan menghilang entah ke mana. Untuk kemudian, nanti datang lagi ketika aku pulang kerja pada malam hari. Kadang-kadang, ia tidur lagi ketika aku hendak berangkat kerja, dan aku tak tega untuk membangunkannya. Jadi, kubiarkan ia terkunci di dalam rumah. Dan, ternyata ia kucing yang baik, tak memberantaki apapun, atau misalnya kencing sembarangan. Begitulah awalnya, dan lama-lama kucing itu telah menjadi bagian dari rumahku.
***
Entah bagaimana ceritanya, kucing jantan dengan tubuh penuh luka itu kemudian datang pada suatu pagi hari Sabtu, ketika aku libur dan sedang berada di rumah, dan pintu terbuka lebar. Apakah kucing betina berbulu pendek itu memberitahunya?
Sejak itu, mereka selalu datang berbarengan. Temanku jadi bertambah satu. Kadang-kadang, si kucing jantan itu datang dengan luka yang baru, setelah luka-luka yang sebelumnya telah kering dan pulih. Tak seperti si betina berekor pendek, ia tak pernah mengeong, dan juga tak banyak tingkah. Hanya satu yang menggangguku, badannya bau. Tapi, apa yang kuharapkan dari seekor kucing bandel yang suka berantem? Aku senang bisa memberinya makan. Sejak kemunculan si jantan berekor panjang itu, dry food yang kusediakan jadi habis lebih cepat, padahal belakangan aku mulai membeli satu kilo sekaligus.
Tapi, ada kebahagiaan yang sulit terlukiskan ketika melihat dua kucing itu muncul berbarengan, menyerbu mangkuk-mangkuk plastik yang kusodorkan. Aku mengamati mereka makan. Habis makan, mereka meregangkan badannya dengan menarik sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang ke arah yang berlawanan, sejauh-jauhnya, hingga tubuhnya jadi memanjang, lalu duduk di lantai, menggaruk-nggaruk badannya dengan kaki belakang, menguap, lalu meringkuk. Kuelus-elus satu per satu kepalanya. Ketika kuelus, mata mereka terpejam --aku mengartikannya mereka menikmati elusanku. Kadang-kadang aku mengajak mereka bicara apa saja.
"Tidur di sana...di kursi!"
"Tidur ya, aku mau baca buku."
Ketika aku bangkit, mereka mengangkat kepala, ikut bangkit, membututiku, mendusel-nduselkan kepalanya di tumitku. Aku bisa mengatakan, mungkin segala yang mereka lakukan hanya mengikuti nalurinya. Mungkin mereka ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Mungkin mereka bermaksud meminta perhatianku. Melihat kucing-kucing itu, kadang aku merasa iri. Mereka hidup mengalir saja. Bahkan untuk makan pun mereka seolah yakin, pasti akan ada orang yang memberinya.
Suatu kali, ketika aku mendapati mereka tidur sehabis makan pada pagi hari, aku memotretnya, dan sebelum berangkat kerja, aku unggah foto itu di Facebook, dengan caption, "Kamu enak, jam segini tidur!"
Tak sampai semenit, terbaca komentar dari seorang teman, "Jangan iri, setiap makhluk menjalani karmanya masing-masing."
Aku tersenyum, lalu berpikir, seandainya kelak karmaku berulang, aku ingin dilahirkan kembali menjadi seekor kucing. Kini, aku harus menjalani karmaku sebagai manusia, antara lain dengan rutinitas berangkat ke kantor setiap pagi. Aku bangkit dengan semacam semangat baru. Detak sepatu di lantai membangunkan kucing-kucing itu.
Mereka meregangkan badannnya, menguap, lalu berlari kecil membututiku.
"Kok bangun, tidur lagi sana!" kataku sambil berjongkok, mengelus sekali lagi kepala mereka. Si betina berekor pendek berguling manja. Si jantan berekor panjang yang badannya bau hanya memejamkan matanya. Ketika pintu hendak kututup, kupandangi mereka, seraya menunggu mereka berlarian keluar. Tapi, mereka hanya menatapku, tak bergerak, tak mengatakan apapun.
Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan.
Mumu Aloha wartawan, penulis, editor
Related Post =