Sebagai pekerja sektor konstruksi, selama pandemi saya nyaris tidak pernah WFH. Tidur siang adalah sebuah kemewahan. Biasanya baru bisa tidur siang itu di akhir minggu. Kemaren tidak seperti biasanya saya tidak bisa tidur siang.
Hanya gelundung-gelundung saja sampai menjelang Maghrib. Tiba-tiba saya teringat lagu Alm. Chrisye: Surya tenggelam, ditelan kabut kelam, senja nan muram, di hati remuk redam. Malam mencekam, rembulan sendu rawan, anak perawan, menanggung rindu dendam.
Hanya gelundung-gelundung saja sampai menjelang Maghrib. Tiba-tiba saya teringat lagu Alm. Chrisye: Surya tenggelam, ditelan kabut kelam, senja nan muram, di hati remuk redam. Malam mencekam, rembulan sendu rawan, anak perawan, menanggung rindu dendam.
Seperti ada yang kurang hari ini. Batin saya. Saya mencoba merunut mundur ke jam tadi siang sepulang kerja. Tak ada yang aneh. Saya pulang setelah hari berlalu lebih dari separuh. Saya mampir warung dulu buat bungkus makan siang, sampai kosan, salat dan makan. Terus sembari menunggu terlelap saya menyalakan laptop dan memutar film Korea yang dari minggu kemaren tidak kelar-kelar nontonnya.
Biasanya setiap pulang kerja, nyaris tiap hari biasanya saya disambut sama beberapa kucing sekitar yang suka maen ke kosan. Saya suka ngasih makan mereka. Kadang pakai makanan kucing kadang pakai sisa jatah makan saya. Saya juga stok Bolt sekilo yang saya taruh di botol plastik bekas air mineral.
Dan biasanya kalau Sabtu gini itu kucing-kucing jarang langsung pergi. Ada yang goler-goler di keset depan pintu kamar bak rebahan di hotel mewah nan empuk, di keset depan pintu kamar mandi bak plesiran sembari berjemur di pantai dan suka ada yang curi-curi masuk kamar seperti orang-orang menunggu antrean vaksin.
Iya, ada sekitar tiga kucing yang sering datang. Dua berwarna oranye, satu berwarna hitam. Yang hitam sepertinya juga sudah sepuh, setiap habis makan kerjanya hanya rebahan di rak sepatu depan kamar.
Kalau weekend biasanya kucing yang curi-curi masuk kamar akan saya biarkan. Apalagi pas jam-jam tidur siang seringnya kucing-kucing itu suka nyempil ikutan rebahan.
Suara gesekan kuku kucing dan kain sprei kemudian disertai dengkuran yang halus. Selalu sukses membuat saya mudah terlelap. Kemudian kita saingan tidur. Siapa yang terakhir bangun dialah juaranya. Kalau mengutip lagu mba Dee Lestari: "Malaikat juga tahuuuu... siapa yang jadi.. juaranyaaa!"
Apa jangan-jangan karena ketidakhadiran kucing-kucing tersebut saya susah tidur siang ini?
***
Suara azan maghrib terdengar dari kejauhan. Jalanan juga kerasa lengang. Padahal ini malam Minggu. Oh iya.. sekarang masih minggu PPKM. Sejak pandemi sekitar kosan saya terasa sepi. Padahal biasanya ramai dengan mahasiswa karena memang kebetulan lokasi kosan berada di sekitaran kampus.
Rental printer dan fotokopian yang biasanya buka 24 jam juga tutup nyaris sudah dua tahunan ini. Warung-warung pun begitu. Sebagian besar tutup. Hanya beberapa saja yang buka. Dan saya bersyukur saya jadi tidak terlalu khawatir perkara makanan. Walau terkadang menunya itu-itu lagi. Tapi sejauh ini lumayan bikin saya masih bertahan.
Sampai pernah ada bang ojol yang mengantar saya ke kosan bilang, “Mbak, daerah sini kayak desa ya? Sepi sekali.”
Saya jadi teringat sama film Jepang berjudul Rentaneko (Rent a Cat). Berkisah tentang perempuan bernama Sayoko, seorang yang menawarkan jasa persewaan kucing bagi orang-orang yang kesepian. Seekor kucing bisa menggantikan ‘lubang-lubang’ rasa sepi di hati.
Seorang ibu tua yang tinggal sendiri setelah anak-anaknya pada mentas. Seorang bapak yang jauh dari keluarga karena kerjaan, dan seorang perempuan penjaga rental mobil merasa ditinggalkan oleh dunia. Saking kerasa sepinya.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Sayoko juga kesepian. Tapi untungnya dia punya banyak kucing. Secara tidak sengaja Sayoko sudah menciptakan kondisi 'lingkungan yang menyembuhkan'nya sendiri. Atau lebih dikenal dengan istilah healing environment.
***
Mengutip buku Health & Human Behaviour-nya Jones. Lingkungan memegang peran penting dalam proses penyembuhan manusia. Yakni sekitar 40%, baru diikuti faktor medis 10%, genetik 20% dan faktor lain-lain 30%.
Shofiyatun
Biasanya setiap pulang kerja, nyaris tiap hari biasanya saya disambut sama beberapa kucing sekitar yang suka maen ke kosan. Saya suka ngasih makan mereka. Kadang pakai makanan kucing kadang pakai sisa jatah makan saya. Saya juga stok Bolt sekilo yang saya taruh di botol plastik bekas air mineral.
Dan biasanya kalau Sabtu gini itu kucing-kucing jarang langsung pergi. Ada yang goler-goler di keset depan pintu kamar bak rebahan di hotel mewah nan empuk, di keset depan pintu kamar mandi bak plesiran sembari berjemur di pantai dan suka ada yang curi-curi masuk kamar seperti orang-orang menunggu antrean vaksin.
Iya, ada sekitar tiga kucing yang sering datang. Dua berwarna oranye, satu berwarna hitam. Yang hitam sepertinya juga sudah sepuh, setiap habis makan kerjanya hanya rebahan di rak sepatu depan kamar.
Kalau weekend biasanya kucing yang curi-curi masuk kamar akan saya biarkan. Apalagi pas jam-jam tidur siang seringnya kucing-kucing itu suka nyempil ikutan rebahan.
Suara gesekan kuku kucing dan kain sprei kemudian disertai dengkuran yang halus. Selalu sukses membuat saya mudah terlelap. Kemudian kita saingan tidur. Siapa yang terakhir bangun dialah juaranya. Kalau mengutip lagu mba Dee Lestari: "Malaikat juga tahuuuu... siapa yang jadi.. juaranyaaa!"
Apa jangan-jangan karena ketidakhadiran kucing-kucing tersebut saya susah tidur siang ini?
***
Suara azan maghrib terdengar dari kejauhan. Jalanan juga kerasa lengang. Padahal ini malam Minggu. Oh iya.. sekarang masih minggu PPKM. Sejak pandemi sekitar kosan saya terasa sepi. Padahal biasanya ramai dengan mahasiswa karena memang kebetulan lokasi kosan berada di sekitaran kampus.
Rental printer dan fotokopian yang biasanya buka 24 jam juga tutup nyaris sudah dua tahunan ini. Warung-warung pun begitu. Sebagian besar tutup. Hanya beberapa saja yang buka. Dan saya bersyukur saya jadi tidak terlalu khawatir perkara makanan. Walau terkadang menunya itu-itu lagi. Tapi sejauh ini lumayan bikin saya masih bertahan.
Sampai pernah ada bang ojol yang mengantar saya ke kosan bilang, “Mbak, daerah sini kayak desa ya? Sepi sekali.”
Saya jadi teringat sama film Jepang berjudul Rentaneko (Rent a Cat). Berkisah tentang perempuan bernama Sayoko, seorang yang menawarkan jasa persewaan kucing bagi orang-orang yang kesepian. Seekor kucing bisa menggantikan ‘lubang-lubang’ rasa sepi di hati.
Seorang ibu tua yang tinggal sendiri setelah anak-anaknya pada mentas. Seorang bapak yang jauh dari keluarga karena kerjaan, dan seorang perempuan penjaga rental mobil merasa ditinggalkan oleh dunia. Saking kerasa sepinya.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Sayoko juga kesepian. Tapi untungnya dia punya banyak kucing. Secara tidak sengaja Sayoko sudah menciptakan kondisi 'lingkungan yang menyembuhkan'nya sendiri. Atau lebih dikenal dengan istilah healing environment.
***
Mengutip buku Health & Human Behaviour-nya Jones. Lingkungan memegang peran penting dalam proses penyembuhan manusia. Yakni sekitar 40%, baru diikuti faktor medis 10%, genetik 20% dan faktor lain-lain 30%.
Shofiyatun
Related Post