Kesaksian tukang kebun bertubuh kisut saat aku menemuinya di depan gerbang pada sore yang matang, "Dicakar kucing peliharaannya, ketika Tuan Muda tengah menikmati tidur siangnya. Saya bersama pembantu lain mendobrak kamar Tuan Muda. Kami dapatilah Tuan Muda sudah dalam kehilangan nyawa. Wajahnya penuh cakaran kucing.
Di sudut kamar, kucing itu tampak ketakutan, dia meringkuk, mulut dan kakinya dipenuhi darah. Setelah Tuan Muda selesai proses pemakamannya, kucing itu tidak terlihat lagi di rumah. Kami sudah berupaya mencarinya, tetapi sia sia saja. Sungguh kucing yang misterius."
Di sudut kamar, kucing itu tampak ketakutan, dia meringkuk, mulut dan kakinya dipenuhi darah. Setelah Tuan Muda selesai proses pemakamannya, kucing itu tidak terlihat lagi di rumah. Kami sudah berupaya mencarinya, tetapi sia sia saja. Sungguh kucing yang misterius."
Adapun tanggapan tetangga terdekat, seorang perempuan muda, "Sebelum kematian itu terjadi, hampir setiap sore saya melihatnya di taman belakang rumahnya. Saya mengamatinya dari balik jendela kamar di lantai dua. Dia selalu murung, pandangannya kosong. Entah apa yang dipikirkan. Saya agak tidak percaya jika dia mati oleh serangan kucing peliharaannya. Hubungan mereka berdua baikbaik saja. Setiap saya melihatnya di taman itu, kucingnya akan senantiasa berada dalam pangkuannya."
-----
Hari yang lain aku kembali ke rumah itu. Selalu tukang kebun menyambutku. Berjalan tergopoh menuju gerbang. Dia tampak tidak bersemangat setelah melihatku, "Anda datang lagi?" dia mengernyitkan dahi.
Aku mengangguk senyum, "Saya perlu bicara dengan majikan Anda." "Sudah jelas saya katakan, Tuan dan Nyonya tidak berkenan menerima Anda. Mereka tidak mau terusterusan membahas kematian Tuan Muda," dia mengatakan itu agak jengkel.
Seorang lelaki tua berambut putih, lebih tua lagi dari tukang kebun itu. Ketika aku hendak beranjak dari depan gerbang, tibatiba lelaki tua itu mendekatiku, "Tiga sore terakhir ini saya melihat Anda di sini. Adakah Anda punya urusan dengan pemilik rumah itu?" ucapnya parau. Aku hanya menganggukkan kepala. "Apakah ada kaitannya dengan kematian anak lelakinya?" Aku kembali mengangguk. "Dan kau tidak diterima?" Reaksiku masih sama.
"Apakah Tuan banyak mengetahui tentang lelaki malang itu?" Giliranku yang bertanya. "Kami memang bertetangga. Tetapi Anda tahu sendirilah kehidupan bertetangga di lingkungan perkotaan seperti ini, tidaklah sama di kampung kampung. Kami tidak menjalin keakraban.
Makanya saya tidak banyak mengatahui soal dia, selain kalau dia memiliki kucing kesayangan, dan dia mati diserang kucingnya sendiri," ketus lelaki tua itu, "hampir setiap minggu, kami bertemu di toko pernak pernik kucing, di perempatan jalan sana."
Besoknya aku mendatangi toko yang dimaksud. Pemiliknya adalah seorang perempuan berbadan gembrot, matanya sipit dan berkulit putih. "Setiap minggu dia memang selalu ke sini. Kami sudah lama berlangganan. Kami menyediakan bahan makanan untuk kucingnya atau keperluan lainnya.
Terus terang saja saya bersedih sekali setelah mendengar kabar kematiannya. Yang tidak saya duga sama sekali, nyawanya terenggut dicakar kucingnya sendiri. Malang sekali nasibnya."
Belum juga aku menimpalinya, perempuan itu melanjutkan, "Tatkala berkunjung ke sini, dia biasanya ditemani kekasihnya. Akan tetapi perempuan itu tidak pernah saya lihat lagi bersamanya pada lima kunjungan terakhir sebelum kematiannya.
Sejak tidak bersamanya lagi, memang ada perubahan yang saya temukan dari lelaki itu. Dia menjadi pendiam. Padahal sebelumnya kami selalu meluangkan waktu untuk bercanda. Saya juga dibuat bertanya tanya mengapa dia seperti itu. Hemat saya berkata, barangkali ada kaitannya dengan kekasihnya." Dia menatapku lekat-lekat berharap aku dengan cepat menanggapi tuturannya. Aku agak lama diam berpikir.
"Sayang sekali saya tidak banyak tahu tentang kekasihnya. Dia sangatlah cantik, badannya ramping," dia melanjutkan. Sebelum malam, aku kembali ke depan gerbang rumah besar itu. Disambut aku oleh tukang kebun, tatapannya tidak mengenakkan padaku.
"Bisakah kau memberitahuku soal perempuan yang sering bersama Tuan Muda?" aku langusng bertanya, mendahuluinya mengeluarkan keluhan lantaran kunjunganku kesekian kalinya. "Kalau Anda ingin bertemu dengannya datanglah ke pemakaman Tuan Muda, setiap Sabtu sore perempuan itu akan menghabiskan waktunya di sana. Tampaknya dia begitu kehilangan setelah kematian Tuan Muda," katanya kemudian meninggalkanku.
--------
Sabtu sore masih tersisa bebarapa hari lagi. Sejenak aku tidak menyibukkan diri untuk mencari tahu tentang lelaki itu. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Semua bermula setelah aku membaca koran yang menayangkan kematiannya dicakar kucing peliharaannya.
Banyak orang menerima itu adalah hal yang lazim. Sudah banyak kasus binatang peliharaan tega menyerang tuannya sendiri. Seingatku, satu tahun yang lalu, Madam Margaret juga mati setelah diserang anjing peliharannya. Aku bisa menerima itu, tetapi jika seekor kucing yang menjadi pelakunya rasanya ada yang aneh menurutku.
"Ada anak tega membunuh orang tuanya sendiri begitupula sebaliknya. Kamu percaya itu?" di kedai kopi mengisi waktu luang, aku bersama kekasihku, dia bertanya demikian. Aku hanya mengangguk. "Lalu mengapa kau tidak bisa menerima kematian lelaki itu diserang kucing peliharannya sendiri? anak dan orang tua saja memiliki ikatan darah bisa saling bunuh. Lha, kucing hanya hewan."
Tampaknya dia tidak menyenangiku selalu menyibukkan diri dalam urusan yang menurutnya tidak penting. "Tidak lama lagi, saya akan menyudahi semua itu," kataku meremas tangannya. Kami menyepakati menjadi sepasang kekasih sehari setelah lelaki itu mati.
------
Sore itu aku sejenak meluangkan waktu di taman setelah pulang kerja. Aku duduk termenung memikirkan koran yang kubaca di kantor tentang kematian lelaki itu yang diserang kucingnya.
Tiba-tiba terdengar suara meongan kucing membuyarkan lamunanku. Aku mengedarkan pandangan. Tidak tampak olehku keberadaan kucing. Tetapi terus menggema di pendengaranku suaranya.
Aku bergerak mendekati arah suara itu. Sepertinya di belakang pohon berbatang besar, setelah kucek bukannya kucing yang terlihat. Tetapi sosok perempuan cantik yang sedang menangis. Dia menatapku, kulihat matanya tampak sembap.
"Apakah Anda melihat kucing?" Dia mengusap matanya yang berair kemudian meresponku, "Tidak ada siapa-siapa di sini selain saya." "Lalu di mana muasal suara kucing yang saya dengar tadi? Saya tidak mungkin keliru, jelas jelas suaranya di sekitaran pohon ini." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Anggap saja saya seekor kucing yang Anda cari. Duduklah di samping saya. Saya mau curhat!" Walaupun ragu ragu tetapi aku tetap memenuhi seruannya. Aneh menurutku, kami masih saling asing, pertemuan perdana. Tetapi dia sudah mempercayakan aku sebagai pendengar curahan hatinya.
Aku jadi tahu mengapa dia menangis, tak lain ditinggal pergi oleh kekasihnya. Makanya tampak bersedih. "Saya tidak bisa hidup tanpa seorang kekasih, dan sekarang saya tidak memiliki kekasih lagi, lebih baik saya mati saja," katanya mengeluarkan belati dari dalam tasnya. Mata belati itu dia hadapkan pada bagian perutnya.
Aku panik, tidak mungkin kubiarkan dia membunuh dirinya sendiri, kuserukan padanya untuk menurunkan belati itu. "Saya bersedia menjadi kekasih Anda. Anda jangan bunuh diri, itu bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan hidup," saat aku mengatakan kalimat demikian barulah dia menurunkan belatinya. Dan aku tidak mungkin menarik kata kata yang terlanjur kuucapkan.
-----
Pada akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Sungguh tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Akan tetapi aku senang punya kekasih sepertinya, menghadirkan warna sendiri dalam hidupku. Aku sudah mewantiwanti setelah rasa penasaranku terpuaskan mengenai kematian lelaki itu, aku mau lebih fokus padanya. Harus kuakui aku belum bisa mencintainya. Cinta tidak hadir setergesagesa itu.
Sabtu sore yang kutunggu telah benarbenar tiba. Begitu pulang dari kantor, aku langsung memacu sepeda motorku menuju pemakaman. Kudapati sosok perempuan menangis tersedu-sedu. Dia mengenakan pakaian serba hitam, menandakan dia masih berduka. Tangannya mengusap batu nisan lelaki itu, disertai isak tangis. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya, kusentuh pundaknya. Dia agak terkejut, memperbaiki posisi, menatapku.
"Saya mengetahui tentang Anda dari pemilik toko pernak-pernik kucing, adapun keberadaan Anda setiap Sabtu sore di sini, saya mengetahuinya dari seorang pembantu di rumah mendiang," aku berterus terang, "Saya perlu mengetahui tentang mendiang. Saya kira Anda cukup mengenalnya."
Beruntung dia ramah padaku, "Sepertinya saya tidak bisa melakukannya sekarang. Kecuali malam nanti, Anda mau datang menemui saya?"
"Di mana saya harus bertemu dengan Anda?" aku antusias bertanya. "Anda saja yang menentukan!" Mendengar itu aku langsung berpikir sejenak, lalu kusebut tempat yang terlintas di benakku. Dia memberitahu alamat rumahnya. Kami juga menyepakati waktu pertemuan kami. Setelah itu, tidak ada basa-basi lagi. Dia melanjutkan sedihnya, aku segera mungkin meninggalkannya. Sesekali aku memalingkan wajah padanya saat perjalanan keluar gerbang pemakaman.
------------
Tepat jam sembilan malam aku sampai di kediamannya. Ada sebuah bangku panjang di halaman depan rumahnya di sanalah kami duduk, sekitarannya diterangi pencahayaan yang cukup. Malam sangat bersahabat untuk kami melangsungkan obrolan. Bunga dan tanaman hias lainnya meramaikan taman, sedang berdamai dengan malam.
"Dia penggemar Raisa. Solois berbakat di negeri ini," begitu katanya, "Karena kefanatikan itulah membuat saya jemu bersamanya. Hari itu saya membuat keputusan mengejutkannya mengakhiri hubungan kami yang baru berjalan delapan bulan. Keputusan yang betul-betul sangat saya sesali sampai sekarang."
Dia masih ingin melanjutkan perkataannya tetapi terlebih dahulu aku menyelanya, "Tunggu dulu! Anda bilang dia penggemar Raisa," kataku, "Apakah semua itu ada kaitannya dengan kematiannya?"
"Pada kenyataannya manusia adalah penggemar manusia yang lain. Saya belum pernah melihat seseorang yang begitu fanatik menggemari, selain dia kepada Raisa. Suatu hari, dia mendatangkan pelukis di kediamannya hanya untuk menggambar Raisa di dinding kamarnya berukuran besar. Serta masih banyak poster-poster lainnya yang dipesan di percetakan hanya untuk meramaikan kamarnya.
"Itu belum seberapa, penampilan kesehariannya pun tak jauh jauh dari Raisa. Baju kaos yang senantiasa melekat di badannya, jika bukan gambar Raisa hadir di sana, minimal tulisan nama Raisa. Menjelang tidurnya, senantiasa lagul agu Raisa mengalun indah mengantarnya ke pusaran mimpi.
Setiap kebersamaan saya dengannya, dia tidak pernah bosan menyebut nama Raisa. Makanya saya katakan dia begitu fanatik, hingga saya muak," jelasnya, "Tetapi saya tidak berani mengaitkan semua itu dengan kematiannya. Toh, dia mati diserang kucingnya."
Dia masih melanjutkan perkataannya, aku mendengarkannya dengan seksama, "Datanglah pada saya di hari itu, dia amatlah sedih. Sebelum dia menjelaskan, sudah saya tahu apa gerangan yang membuatnya seperti itu. Sempat saya menyaksikan tayangan infotainmen.
Diberitakan Raisa menikah dengan kekasihnya. Pertemuan kami berikutnya selalu memperdengarkan saya bagaimana perasaannya yang terluka akibat ditinggal nikah idolanya. Terus terang saja saya mulai muak. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menegaskan padanya untuk mengakhiri hubungan kami.
"Itu keputusan yang keliru, saya menyesali. Hanya selang beberapa minggu, saya mendengar kabar kematiannya. Saya masih sangat mencintainya. Dia pun mencintai saya, tapi rasanya dia lebih mencintai idolanya," dia menghentikan ucapannya. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
----------
Pertemuan itu, aku jadi tahu bahwa lelaki itu memiliki persamaan denganku, yakni mengidolakan Raisa. Entah kenapa mendengar penjelasannya panjang lebar, aku belum puas. Seolah masih banyak tentang lelaki itu yang perlu aku tahu. Aku bertanyatanya pada diriku sendiri, ada apa denganku? Mengapa aku begitu tertarik mencari tahu tentangnya? Padahal dia bukanlah siapa-siapa bagiku.
Pada malam ini aku kembali berkunjung. "Kata orang-orang di rumahnya, sejak mendiang dimakamkan, kucing itu tidak pernah menampakkan diri lagi." Kami masih di taman depan rumah. Bedanya kali ini kami saling menikmati rokok beserta minum bir.
"Saya juga mendengar begitu, sayang sekali saya tidak tahu menahu kucing itu. Andai saja dia menampakkan diri di hadapan saya. Akan mati dia di tangan saya." Aku melihat dia tidak sedang main-main dengan perkataannya. Memang ada dendam dalam dirinya terhadap kucing itu. Kami terus melanjutkan obrolan. Sampai pandanganku terasa berat. Bir yang kuteguk sudah memberikan efek padaku. Sampai aku tidak mengingat apa-apa lagi.
------
Rangsangan matahari pagi terasa olehku. Aku melihat perempuan itu berbaring di atasku. Pantas saja kurasakan ada beban berat. Kami masih di taman, minuman sialan itu membuat kami tidak sadar. Aku membangunkannya. Saat matanya terbuka, dia tampak terkejut.
"Astaga kita benar-benar keterlaluan, tidak mengingat apa-apa," katanya memperbaiki rambutnya yang sedikit kusut. "Saya tidak punya waktu banyak untuk pagi ini. Saya harus pulang, sejam lagi saya harus berada di kantor," kataku.
"Saya harap Anda berkenan datang dikesempatan yang lain. Anda sangat menyenangkan. Dan saya bermimpi kita bersetubuh," aku membaca keterus terangan darinya. "Kapan pun Anda menginginkan mimpi itu terwujud, hubungi saya saja," kataku menggodanya. Dia hanya tersenyum.
Di depan pintu kamar tempat tinggalku, kekasihku telah menunggu di sana. Dia memasang tatapan datar, aku jadi dibuat tidak enak. Segera mungkin pikiranku sibuk mencari alasan, apabila dia bertanya-tanya. Aku langsung memeluknya dan menciumnya di depan pintu. Kugandeng tangannya memasuki kamar. "Saya mencium mulutmu bau alkohol," itu yang pertama kali dia katakan.
"Oh, semalam saya menginap di rumah kawan, dia ulang tahun. Kami minum-minum," alasanku padanya. Dia lalu menimpali, "Dan saya cium ada parfum perempuan melekat pada pakaianmu." Aku tibatiba teringat ketika aku bangun, perempuan itu tidur di atas tubuhku. Aku tidak bisa langsung menjawabnya.
"Tenang saja, saya tidak akan membunuhmu kalaupun semalam kau tidur dengan perempuan lain," kata kekasihku, "Akan tetapi kau harus mati," dia menjeda sesaat, "Karena kau adalah penggemar Raisa. Dan, saya benci laki-laki yang begitu menggemari Raisa. Tiba-tiba kulihat kedua bola matanya berubah, kuperhatikan ujung jari-jarinya muncul cakar, dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya, "Sayalah yang membunuh lelaki itu. Seekor kucing yang cemburu pada Raisa."***
Mawan Sastra
-----
Hari yang lain aku kembali ke rumah itu. Selalu tukang kebun menyambutku. Berjalan tergopoh menuju gerbang. Dia tampak tidak bersemangat setelah melihatku, "Anda datang lagi?" dia mengernyitkan dahi.
Aku mengangguk senyum, "Saya perlu bicara dengan majikan Anda." "Sudah jelas saya katakan, Tuan dan Nyonya tidak berkenan menerima Anda. Mereka tidak mau terusterusan membahas kematian Tuan Muda," dia mengatakan itu agak jengkel.
Seorang lelaki tua berambut putih, lebih tua lagi dari tukang kebun itu. Ketika aku hendak beranjak dari depan gerbang, tibatiba lelaki tua itu mendekatiku, "Tiga sore terakhir ini saya melihat Anda di sini. Adakah Anda punya urusan dengan pemilik rumah itu?" ucapnya parau. Aku hanya menganggukkan kepala. "Apakah ada kaitannya dengan kematian anak lelakinya?" Aku kembali mengangguk. "Dan kau tidak diterima?" Reaksiku masih sama.
"Apakah Tuan banyak mengetahui tentang lelaki malang itu?" Giliranku yang bertanya. "Kami memang bertetangga. Tetapi Anda tahu sendirilah kehidupan bertetangga di lingkungan perkotaan seperti ini, tidaklah sama di kampung kampung. Kami tidak menjalin keakraban.
Makanya saya tidak banyak mengatahui soal dia, selain kalau dia memiliki kucing kesayangan, dan dia mati diserang kucingnya sendiri," ketus lelaki tua itu, "hampir setiap minggu, kami bertemu di toko pernak pernik kucing, di perempatan jalan sana."
Besoknya aku mendatangi toko yang dimaksud. Pemiliknya adalah seorang perempuan berbadan gembrot, matanya sipit dan berkulit putih. "Setiap minggu dia memang selalu ke sini. Kami sudah lama berlangganan. Kami menyediakan bahan makanan untuk kucingnya atau keperluan lainnya.
Terus terang saja saya bersedih sekali setelah mendengar kabar kematiannya. Yang tidak saya duga sama sekali, nyawanya terenggut dicakar kucingnya sendiri. Malang sekali nasibnya."
Belum juga aku menimpalinya, perempuan itu melanjutkan, "Tatkala berkunjung ke sini, dia biasanya ditemani kekasihnya. Akan tetapi perempuan itu tidak pernah saya lihat lagi bersamanya pada lima kunjungan terakhir sebelum kematiannya.
Sejak tidak bersamanya lagi, memang ada perubahan yang saya temukan dari lelaki itu. Dia menjadi pendiam. Padahal sebelumnya kami selalu meluangkan waktu untuk bercanda. Saya juga dibuat bertanya tanya mengapa dia seperti itu. Hemat saya berkata, barangkali ada kaitannya dengan kekasihnya." Dia menatapku lekat-lekat berharap aku dengan cepat menanggapi tuturannya. Aku agak lama diam berpikir.
"Sayang sekali saya tidak banyak tahu tentang kekasihnya. Dia sangatlah cantik, badannya ramping," dia melanjutkan. Sebelum malam, aku kembali ke depan gerbang rumah besar itu. Disambut aku oleh tukang kebun, tatapannya tidak mengenakkan padaku.
"Bisakah kau memberitahuku soal perempuan yang sering bersama Tuan Muda?" aku langusng bertanya, mendahuluinya mengeluarkan keluhan lantaran kunjunganku kesekian kalinya. "Kalau Anda ingin bertemu dengannya datanglah ke pemakaman Tuan Muda, setiap Sabtu sore perempuan itu akan menghabiskan waktunya di sana. Tampaknya dia begitu kehilangan setelah kematian Tuan Muda," katanya kemudian meninggalkanku.
--------
Sabtu sore masih tersisa bebarapa hari lagi. Sejenak aku tidak menyibukkan diri untuk mencari tahu tentang lelaki itu. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Semua bermula setelah aku membaca koran yang menayangkan kematiannya dicakar kucing peliharaannya.
Banyak orang menerima itu adalah hal yang lazim. Sudah banyak kasus binatang peliharaan tega menyerang tuannya sendiri. Seingatku, satu tahun yang lalu, Madam Margaret juga mati setelah diserang anjing peliharannya. Aku bisa menerima itu, tetapi jika seekor kucing yang menjadi pelakunya rasanya ada yang aneh menurutku.
"Ada anak tega membunuh orang tuanya sendiri begitupula sebaliknya. Kamu percaya itu?" di kedai kopi mengisi waktu luang, aku bersama kekasihku, dia bertanya demikian. Aku hanya mengangguk. "Lalu mengapa kau tidak bisa menerima kematian lelaki itu diserang kucing peliharannya sendiri? anak dan orang tua saja memiliki ikatan darah bisa saling bunuh. Lha, kucing hanya hewan."
Tampaknya dia tidak menyenangiku selalu menyibukkan diri dalam urusan yang menurutnya tidak penting. "Tidak lama lagi, saya akan menyudahi semua itu," kataku meremas tangannya. Kami menyepakati menjadi sepasang kekasih sehari setelah lelaki itu mati.
------
Sore itu aku sejenak meluangkan waktu di taman setelah pulang kerja. Aku duduk termenung memikirkan koran yang kubaca di kantor tentang kematian lelaki itu yang diserang kucingnya.
Tiba-tiba terdengar suara meongan kucing membuyarkan lamunanku. Aku mengedarkan pandangan. Tidak tampak olehku keberadaan kucing. Tetapi terus menggema di pendengaranku suaranya.
Aku bergerak mendekati arah suara itu. Sepertinya di belakang pohon berbatang besar, setelah kucek bukannya kucing yang terlihat. Tetapi sosok perempuan cantik yang sedang menangis. Dia menatapku, kulihat matanya tampak sembap.
"Apakah Anda melihat kucing?" Dia mengusap matanya yang berair kemudian meresponku, "Tidak ada siapa-siapa di sini selain saya." "Lalu di mana muasal suara kucing yang saya dengar tadi? Saya tidak mungkin keliru, jelas jelas suaranya di sekitaran pohon ini." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Anggap saja saya seekor kucing yang Anda cari. Duduklah di samping saya. Saya mau curhat!" Walaupun ragu ragu tetapi aku tetap memenuhi seruannya. Aneh menurutku, kami masih saling asing, pertemuan perdana. Tetapi dia sudah mempercayakan aku sebagai pendengar curahan hatinya.
Aku jadi tahu mengapa dia menangis, tak lain ditinggal pergi oleh kekasihnya. Makanya tampak bersedih. "Saya tidak bisa hidup tanpa seorang kekasih, dan sekarang saya tidak memiliki kekasih lagi, lebih baik saya mati saja," katanya mengeluarkan belati dari dalam tasnya. Mata belati itu dia hadapkan pada bagian perutnya.
Aku panik, tidak mungkin kubiarkan dia membunuh dirinya sendiri, kuserukan padanya untuk menurunkan belati itu. "Saya bersedia menjadi kekasih Anda. Anda jangan bunuh diri, itu bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan hidup," saat aku mengatakan kalimat demikian barulah dia menurunkan belatinya. Dan aku tidak mungkin menarik kata kata yang terlanjur kuucapkan.
-----
Pada akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Sungguh tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Akan tetapi aku senang punya kekasih sepertinya, menghadirkan warna sendiri dalam hidupku. Aku sudah mewantiwanti setelah rasa penasaranku terpuaskan mengenai kematian lelaki itu, aku mau lebih fokus padanya. Harus kuakui aku belum bisa mencintainya. Cinta tidak hadir setergesagesa itu.
Sabtu sore yang kutunggu telah benarbenar tiba. Begitu pulang dari kantor, aku langsung memacu sepeda motorku menuju pemakaman. Kudapati sosok perempuan menangis tersedu-sedu. Dia mengenakan pakaian serba hitam, menandakan dia masih berduka. Tangannya mengusap batu nisan lelaki itu, disertai isak tangis. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya, kusentuh pundaknya. Dia agak terkejut, memperbaiki posisi, menatapku.
"Saya mengetahui tentang Anda dari pemilik toko pernak-pernik kucing, adapun keberadaan Anda setiap Sabtu sore di sini, saya mengetahuinya dari seorang pembantu di rumah mendiang," aku berterus terang, "Saya perlu mengetahui tentang mendiang. Saya kira Anda cukup mengenalnya."
Beruntung dia ramah padaku, "Sepertinya saya tidak bisa melakukannya sekarang. Kecuali malam nanti, Anda mau datang menemui saya?"
"Di mana saya harus bertemu dengan Anda?" aku antusias bertanya. "Anda saja yang menentukan!" Mendengar itu aku langsung berpikir sejenak, lalu kusebut tempat yang terlintas di benakku. Dia memberitahu alamat rumahnya. Kami juga menyepakati waktu pertemuan kami. Setelah itu, tidak ada basa-basi lagi. Dia melanjutkan sedihnya, aku segera mungkin meninggalkannya. Sesekali aku memalingkan wajah padanya saat perjalanan keluar gerbang pemakaman.
------------
Tepat jam sembilan malam aku sampai di kediamannya. Ada sebuah bangku panjang di halaman depan rumahnya di sanalah kami duduk, sekitarannya diterangi pencahayaan yang cukup. Malam sangat bersahabat untuk kami melangsungkan obrolan. Bunga dan tanaman hias lainnya meramaikan taman, sedang berdamai dengan malam.
"Dia penggemar Raisa. Solois berbakat di negeri ini," begitu katanya, "Karena kefanatikan itulah membuat saya jemu bersamanya. Hari itu saya membuat keputusan mengejutkannya mengakhiri hubungan kami yang baru berjalan delapan bulan. Keputusan yang betul-betul sangat saya sesali sampai sekarang."
Dia masih ingin melanjutkan perkataannya tetapi terlebih dahulu aku menyelanya, "Tunggu dulu! Anda bilang dia penggemar Raisa," kataku, "Apakah semua itu ada kaitannya dengan kematiannya?"
"Pada kenyataannya manusia adalah penggemar manusia yang lain. Saya belum pernah melihat seseorang yang begitu fanatik menggemari, selain dia kepada Raisa. Suatu hari, dia mendatangkan pelukis di kediamannya hanya untuk menggambar Raisa di dinding kamarnya berukuran besar. Serta masih banyak poster-poster lainnya yang dipesan di percetakan hanya untuk meramaikan kamarnya.
"Itu belum seberapa, penampilan kesehariannya pun tak jauh jauh dari Raisa. Baju kaos yang senantiasa melekat di badannya, jika bukan gambar Raisa hadir di sana, minimal tulisan nama Raisa. Menjelang tidurnya, senantiasa lagul agu Raisa mengalun indah mengantarnya ke pusaran mimpi.
Setiap kebersamaan saya dengannya, dia tidak pernah bosan menyebut nama Raisa. Makanya saya katakan dia begitu fanatik, hingga saya muak," jelasnya, "Tetapi saya tidak berani mengaitkan semua itu dengan kematiannya. Toh, dia mati diserang kucingnya."
Dia masih melanjutkan perkataannya, aku mendengarkannya dengan seksama, "Datanglah pada saya di hari itu, dia amatlah sedih. Sebelum dia menjelaskan, sudah saya tahu apa gerangan yang membuatnya seperti itu. Sempat saya menyaksikan tayangan infotainmen.
Diberitakan Raisa menikah dengan kekasihnya. Pertemuan kami berikutnya selalu memperdengarkan saya bagaimana perasaannya yang terluka akibat ditinggal nikah idolanya. Terus terang saja saya mulai muak. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menegaskan padanya untuk mengakhiri hubungan kami.
"Itu keputusan yang keliru, saya menyesali. Hanya selang beberapa minggu, saya mendengar kabar kematiannya. Saya masih sangat mencintainya. Dia pun mencintai saya, tapi rasanya dia lebih mencintai idolanya," dia menghentikan ucapannya. Aku melihat matanya berkaca-kaca.
----------
Pertemuan itu, aku jadi tahu bahwa lelaki itu memiliki persamaan denganku, yakni mengidolakan Raisa. Entah kenapa mendengar penjelasannya panjang lebar, aku belum puas. Seolah masih banyak tentang lelaki itu yang perlu aku tahu. Aku bertanyatanya pada diriku sendiri, ada apa denganku? Mengapa aku begitu tertarik mencari tahu tentangnya? Padahal dia bukanlah siapa-siapa bagiku.
Pada malam ini aku kembali berkunjung. "Kata orang-orang di rumahnya, sejak mendiang dimakamkan, kucing itu tidak pernah menampakkan diri lagi." Kami masih di taman depan rumah. Bedanya kali ini kami saling menikmati rokok beserta minum bir.
"Saya juga mendengar begitu, sayang sekali saya tidak tahu menahu kucing itu. Andai saja dia menampakkan diri di hadapan saya. Akan mati dia di tangan saya." Aku melihat dia tidak sedang main-main dengan perkataannya. Memang ada dendam dalam dirinya terhadap kucing itu. Kami terus melanjutkan obrolan. Sampai pandanganku terasa berat. Bir yang kuteguk sudah memberikan efek padaku. Sampai aku tidak mengingat apa-apa lagi.
------
Rangsangan matahari pagi terasa olehku. Aku melihat perempuan itu berbaring di atasku. Pantas saja kurasakan ada beban berat. Kami masih di taman, minuman sialan itu membuat kami tidak sadar. Aku membangunkannya. Saat matanya terbuka, dia tampak terkejut.
"Astaga kita benar-benar keterlaluan, tidak mengingat apa-apa," katanya memperbaiki rambutnya yang sedikit kusut. "Saya tidak punya waktu banyak untuk pagi ini. Saya harus pulang, sejam lagi saya harus berada di kantor," kataku.
"Saya harap Anda berkenan datang dikesempatan yang lain. Anda sangat menyenangkan. Dan saya bermimpi kita bersetubuh," aku membaca keterus terangan darinya. "Kapan pun Anda menginginkan mimpi itu terwujud, hubungi saya saja," kataku menggodanya. Dia hanya tersenyum.
Di depan pintu kamar tempat tinggalku, kekasihku telah menunggu di sana. Dia memasang tatapan datar, aku jadi dibuat tidak enak. Segera mungkin pikiranku sibuk mencari alasan, apabila dia bertanya-tanya. Aku langsung memeluknya dan menciumnya di depan pintu. Kugandeng tangannya memasuki kamar. "Saya mencium mulutmu bau alkohol," itu yang pertama kali dia katakan.
"Oh, semalam saya menginap di rumah kawan, dia ulang tahun. Kami minum-minum," alasanku padanya. Dia lalu menimpali, "Dan saya cium ada parfum perempuan melekat pada pakaianmu." Aku tibatiba teringat ketika aku bangun, perempuan itu tidur di atas tubuhku. Aku tidak bisa langsung menjawabnya.
"Tenang saja, saya tidak akan membunuhmu kalaupun semalam kau tidur dengan perempuan lain," kata kekasihku, "Akan tetapi kau harus mati," dia menjeda sesaat, "Karena kau adalah penggemar Raisa. Dan, saya benci laki-laki yang begitu menggemari Raisa. Tiba-tiba kulihat kedua bola matanya berubah, kuperhatikan ujung jari-jarinya muncul cakar, dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya, "Sayalah yang membunuh lelaki itu. Seekor kucing yang cemburu pada Raisa."***
Mawan Sastra
Related Post =