Kucing jantan itu mengendus dan melelehkan leher bawahnya lalu mengangguk-angguk dengan bola mata terpejam. Jemari sang pengusap dirasakan lembut dan hidung si pus, merasakan nikmat membaui aroma tubuh pembelainya.
Meoong.. suaranya tebal maklum kucing jantan geladak tanpa silsilah jelas. Oma Ola terus mengelusnya kemudian mengangkatnya, membuat hewan itu kesenangan.
Meoong.. suaranya tebal maklum kucing jantan geladak tanpa silsilah jelas. Oma Ola terus mengelusnya kemudian mengangkatnya, membuat hewan itu kesenangan.
Lidahnya melet-melet seakan berbicara soliloquy. Didekapnya si meong rapat untuk merasakan punggung mahluk berbulu itu menghangatkan dadanya hingga ke rongga hati.
Kucing itu tak menggeliat hanya ekornya saja bergerak naik turun. Dari dalam kerongkongannya terdengar suara krek-krek, mengisyaratkan rasa nyaman di pelukan nyonya majikan.
Oma Ola menatap si pus jantan itu, dia mengingatnya dengan baik, bahwa harimau kecil ini adalah kucing ke sembilan yang dimilikinya, setelah delapan lainnya mati dan semuanya adalah kucing jantan. Entah seperti memiliki interkoneksi yang tak tak terlihat nenek Ola pasti kedatangan kucing jantan di saat kesendiriannya.
Seperti si Nawa nama kucing kesembilan ini, waktu itu dia datang mengais-ngais pintu gubuk reyotnya di saat orang-orang terlelap mimpi, mahluk itu mengetuk pintu.
Kucing belang dua ini datang begitu kurus hingga semua rusuknya seperti hendak terlempar keluar. Tetangga dempet sebelah yang preman menggebuk dinding bambu rumahnya karena mimpinya terganggu oleh erangan kedatangan Nawa.
Hei nenek tua! Kau diamkanlah meong itu! Begitu terdengar hardiknya memecah malam. Ola tua tertatih menggeser pintu rumbianya dan menemui kucing buduk yang terus menjerit di kaki keriputnya. Direngkuhnya kucing belulang itu dengan kasih dan diopeni dengan segenap hati hingga beberapa minggu kemudian tubuhnya tumbuh lumayan.
Kau pasti si Nawa, pengganti Asta yang mati kemarin bukan? Kata Ola bahagia saat bertemu pandangan pertama dengan Nawa si meong lelaki ke sembilan. Lalu mereka mereka berdua melanjutkan kehidupan berpasangannya kembali.
-------------
Orang-orang sudah terbiasa dengan kehidupan nenek Ola yang sendiri yang selalu berpasangan dengan kucing jantan, mereka tak pernah terusik akan kesendirian mak Ola bahkan tidak ambil pusing.
Yang mereka mahfum adalah perempuan Ola adalah mak tua yang sudah ada disitu semenjak dulu kala, entah sejak kapan, orang malas perhatian untuk menelisik. Yang jelas disitu telah hidup seorang perempuan lanjut bernama Ola dengan gubug doyongnya berpasangan dengan seekor kucing jantan.
Selama polah kucingnya tidak mengganggu, orang-orang tak mempersoalkannya. Terserah. Sebab dari rekam jejak yang ada, kucing mak Ola selalu relatif bertingkah manis, apalagi disaat Mak Ola bekerja memulung lembaran plastik di bak sampah di sepanjang pinggiran kota.
Kucing Ola selalu mendengkur di beranda tanah gubug Ola, setia menjaga dan menunggu hingga sang majikan pulang bekerja.
Yang bikin perkara adalah beberapa anak budak reseh sekitar, kadang mereka melemparkan tulang ikan atau daging sisa ayam untuk coba memulai persahabatan usil, tapi selalu saja tak diacuhkan. Si meong bergeming, matanya hanya menatap dan menatap dengan tubuhnya yang kaku menelungkup.
Jika para kurcaci itu mengganggu, si meong akan memamerkan erangan dan taringnya berikut mengeluarkan kuku dari cakarnya, membuat para cindil itu berlarian seram.
Hal inilah yang kadang mencuatkan kembali histori kelabu dari kedelapan kucing milik mak Ola sebelumnya, dimana selalu saja ada anak lelaki jahil yang dicakar atau digigit.
​Beberapa kejadian memang mencirikan ketidaksukaan orang-orang kepada nenek Ola perkara perkucingan ini. Orang yang pernah dilukai oleh salah satu kucing yang pernah ada pasti mengingatnya.
Sudah seperti ritual bahwa ada saja anak lelaki yang pernah terkena cakar tajam si meong jantan, entah oleh kucing kesatu, kedua atau sampai kedelapan.
Jangan pernah dekat dengan kucing geladak itu, ya! Begitu perintah para ibu tetangga yang memiliki anak lelaki dan pernah mendengar misteri. Seperti baru saja kejadian kemarin siang, seorang budak akil balik, kulitnya berlumur panjang sehingga darah mengalir di sepanjang tungkai kakinya akibat cakaran si Nawa.
...Dari cerita dulu kala, Ini kejadian miris yang berulang mak Ola! Ngerti nggak sih?...
Demikian keluarga tercakar mendamprat Nenek Ola yang menyudut pias seakan dia tau historis kucing-kucing Ola. Bapak RT sampai harus turun tangan untuk menyesuaikan pertengkaran dengan usia mak Ola yang renta. Lalu pak RT memerintahkan untuk membuang kucing Nawa supaya tidak membikin kegaduhan lingkungan.
Ini sudah kesembilan kalinya lho, mak Ola! Bapak RT mengingatkan. Bukankah mitosnya kedelapan kucing yang dulu juga punya kisah keganasan serupa toh, pak RT? Ibu korban bertanya sengit mengipas.
Mendengar ucapan itu, pak RT yang setua dengan mak Ola terkesiap. Mengingat akan peristiwa sama sepanjang puluhan tahun bejalan ini.
Bukankah dari kucing pertama?... Nganu...
Pak RT menatap tajam ke mak Ola yang tersudut pucat sambil memangku erat kucing jantan bernama Nawa.
Mak Ola, nurut ya. Biar kucing Nawa saya bawa dan saya titipkan ke kampung lain saja. Boleh? Kata Pak RT persuasif melihat kucing dan nyonya tua seperti tak terpisahkan.
Baiklah pak, beri saya waktu 48 jam untuk terakhir bersama Nawa. Jawab mak Ola merana sambil memandangi binatang bulu itu. Matanya basah seiring dengan mata sang kucing yang meredupkan matanya, seperti duka menyelimuti mereka berdua.
.....
Bumi hampir menenggelamkan bulatan besar, juga burung, awan dan mahluk terbang akan segera terhisap ke kegelapan horison. Terlihat pak RT melangkah bergegas bermaksud melunasi janji 48 jamnya, pergi kerumah reyot mak Ola mumpung mentari belum kehabisan warna.
Mak Ola! Mak Ola! Pak RT mengetuk pintu yang rapat. Tak ada jawab dari dalam hanya terdengar suara sunyi. Mak Ola! Mak Ola! Pak RT menggedor pintu kayu yang condong. Masih tiada suara bahkan keheningan juga tak terindera. Seperti mati.
Tiba-tiba pak RT merasakan kakinya lemas. Kepalanya mengingat bahwa sepekan lewat dia membantu mak Ola menguburkan si Asta, kucing kedelapan mak Ola. Jangan-jangan mak Ola?!..Lalu tubuh pak RT melorot.
Pak RT! Kenapa pak RT? Tetangga bersebelahan melihatnya dan berebut menghampiri dan memangku ketua nya yang lemas terhenyak, mulutnya terbuka mengucap kata terputus-putus.
Si Nawa kucing itu. Kucing kesembilan... Dia kucing terakhir....
Kucing itu tak menggeliat hanya ekornya saja bergerak naik turun. Dari dalam kerongkongannya terdengar suara krek-krek, mengisyaratkan rasa nyaman di pelukan nyonya majikan.
Oma Ola menatap si pus jantan itu, dia mengingatnya dengan baik, bahwa harimau kecil ini adalah kucing ke sembilan yang dimilikinya, setelah delapan lainnya mati dan semuanya adalah kucing jantan. Entah seperti memiliki interkoneksi yang tak tak terlihat nenek Ola pasti kedatangan kucing jantan di saat kesendiriannya.
Seperti si Nawa nama kucing kesembilan ini, waktu itu dia datang mengais-ngais pintu gubuk reyotnya di saat orang-orang terlelap mimpi, mahluk itu mengetuk pintu.
Kucing belang dua ini datang begitu kurus hingga semua rusuknya seperti hendak terlempar keluar. Tetangga dempet sebelah yang preman menggebuk dinding bambu rumahnya karena mimpinya terganggu oleh erangan kedatangan Nawa.
Hei nenek tua! Kau diamkanlah meong itu! Begitu terdengar hardiknya memecah malam. Ola tua tertatih menggeser pintu rumbianya dan menemui kucing buduk yang terus menjerit di kaki keriputnya. Direngkuhnya kucing belulang itu dengan kasih dan diopeni dengan segenap hati hingga beberapa minggu kemudian tubuhnya tumbuh lumayan.
Kau pasti si Nawa, pengganti Asta yang mati kemarin bukan? Kata Ola bahagia saat bertemu pandangan pertama dengan Nawa si meong lelaki ke sembilan. Lalu mereka mereka berdua melanjutkan kehidupan berpasangannya kembali.
-------------
Orang-orang sudah terbiasa dengan kehidupan nenek Ola yang sendiri yang selalu berpasangan dengan kucing jantan, mereka tak pernah terusik akan kesendirian mak Ola bahkan tidak ambil pusing.
Yang mereka mahfum adalah perempuan Ola adalah mak tua yang sudah ada disitu semenjak dulu kala, entah sejak kapan, orang malas perhatian untuk menelisik. Yang jelas disitu telah hidup seorang perempuan lanjut bernama Ola dengan gubug doyongnya berpasangan dengan seekor kucing jantan.
Selama polah kucingnya tidak mengganggu, orang-orang tak mempersoalkannya. Terserah. Sebab dari rekam jejak yang ada, kucing mak Ola selalu relatif bertingkah manis, apalagi disaat Mak Ola bekerja memulung lembaran plastik di bak sampah di sepanjang pinggiran kota.
Kucing Ola selalu mendengkur di beranda tanah gubug Ola, setia menjaga dan menunggu hingga sang majikan pulang bekerja.
Yang bikin perkara adalah beberapa anak budak reseh sekitar, kadang mereka melemparkan tulang ikan atau daging sisa ayam untuk coba memulai persahabatan usil, tapi selalu saja tak diacuhkan. Si meong bergeming, matanya hanya menatap dan menatap dengan tubuhnya yang kaku menelungkup.
Jika para kurcaci itu mengganggu, si meong akan memamerkan erangan dan taringnya berikut mengeluarkan kuku dari cakarnya, membuat para cindil itu berlarian seram.
Hal inilah yang kadang mencuatkan kembali histori kelabu dari kedelapan kucing milik mak Ola sebelumnya, dimana selalu saja ada anak lelaki jahil yang dicakar atau digigit.
​Beberapa kejadian memang mencirikan ketidaksukaan orang-orang kepada nenek Ola perkara perkucingan ini. Orang yang pernah dilukai oleh salah satu kucing yang pernah ada pasti mengingatnya.
Sudah seperti ritual bahwa ada saja anak lelaki yang pernah terkena cakar tajam si meong jantan, entah oleh kucing kesatu, kedua atau sampai kedelapan.
Jangan pernah dekat dengan kucing geladak itu, ya! Begitu perintah para ibu tetangga yang memiliki anak lelaki dan pernah mendengar misteri. Seperti baru saja kejadian kemarin siang, seorang budak akil balik, kulitnya berlumur panjang sehingga darah mengalir di sepanjang tungkai kakinya akibat cakaran si Nawa.
...Dari cerita dulu kala, Ini kejadian miris yang berulang mak Ola! Ngerti nggak sih?...
Demikian keluarga tercakar mendamprat Nenek Ola yang menyudut pias seakan dia tau historis kucing-kucing Ola. Bapak RT sampai harus turun tangan untuk menyesuaikan pertengkaran dengan usia mak Ola yang renta. Lalu pak RT memerintahkan untuk membuang kucing Nawa supaya tidak membikin kegaduhan lingkungan.
Ini sudah kesembilan kalinya lho, mak Ola! Bapak RT mengingatkan. Bukankah mitosnya kedelapan kucing yang dulu juga punya kisah keganasan serupa toh, pak RT? Ibu korban bertanya sengit mengipas.
Mendengar ucapan itu, pak RT yang setua dengan mak Ola terkesiap. Mengingat akan peristiwa sama sepanjang puluhan tahun bejalan ini.
Bukankah dari kucing pertama?... Nganu...
Pak RT menatap tajam ke mak Ola yang tersudut pucat sambil memangku erat kucing jantan bernama Nawa.
Mak Ola, nurut ya. Biar kucing Nawa saya bawa dan saya titipkan ke kampung lain saja. Boleh? Kata Pak RT persuasif melihat kucing dan nyonya tua seperti tak terpisahkan.
Baiklah pak, beri saya waktu 48 jam untuk terakhir bersama Nawa. Jawab mak Ola merana sambil memandangi binatang bulu itu. Matanya basah seiring dengan mata sang kucing yang meredupkan matanya, seperti duka menyelimuti mereka berdua.
.....
Bumi hampir menenggelamkan bulatan besar, juga burung, awan dan mahluk terbang akan segera terhisap ke kegelapan horison. Terlihat pak RT melangkah bergegas bermaksud melunasi janji 48 jamnya, pergi kerumah reyot mak Ola mumpung mentari belum kehabisan warna.
Mak Ola! Mak Ola! Pak RT mengetuk pintu yang rapat. Tak ada jawab dari dalam hanya terdengar suara sunyi. Mak Ola! Mak Ola! Pak RT menggedor pintu kayu yang condong. Masih tiada suara bahkan keheningan juga tak terindera. Seperti mati.
Tiba-tiba pak RT merasakan kakinya lemas. Kepalanya mengingat bahwa sepekan lewat dia membantu mak Ola menguburkan si Asta, kucing kedelapan mak Ola. Jangan-jangan mak Ola?!..Lalu tubuh pak RT melorot.
Pak RT! Kenapa pak RT? Tetangga bersebelahan melihatnya dan berebut menghampiri dan memangku ketua nya yang lemas terhenyak, mulutnya terbuka mengucap kata terputus-putus.
Si Nawa kucing itu. Kucing kesembilan... Dia kucing terakhir....
Related Post