Hari ini aku mengganti lagi nama kucingku setelah dengan Jon dan Teo ia tak mau mendekat atau sekadar menoleh. Aku dapatkan nama baru untuknya secara tidak sengaja dari lapangan desa saat silau sore menyepuh adegan ini:
Di antara kesibukan orang-orang menyiapkan lapak jajan dan wahana permainan pasar malam, sesosok balita menangis histeris, sebab menginjak setumpuk kotoran kuda. Nama itu kedengaran lebih merdu ketimbang panggilan sebelumnya, apalagi kalau diucapkan berulang-ulang: Aung!
Di antara kesibukan orang-orang menyiapkan lapak jajan dan wahana permainan pasar malam, sesosok balita menangis histeris, sebab menginjak setumpuk kotoran kuda. Nama itu kedengaran lebih merdu ketimbang panggilan sebelumnya, apalagi kalau diucapkan berulang-ulang: Aung!
Pada hari pertama dan kedua, aku mengalami semacam kelelahan berharap; dari total 25 kali percobaan memanggil, kucing yang kupungut dalam kondisi basah kuyup itu hanya menoleh sebanyak sebelas kali dan dua di antaranya tampak terpaksa sebab terdesak suara yang dengan sengaja aku buat agak mengerang demi memperoleh perhatian setelah hampir enam menit ia mengabaikan panggilanku dan malah lebih tertarik memelototi prolog pendaratan seekor lalat di sekitar gundukan rendah yang menimbun kotorannya.
Namun, sejak hari ketiga, aku mengubah siasat. Memanggil atau mengenalkan nama baru itu seperlunya. Meluangkan kesuntukan lebih sebagai seorang yang tidak menginginkan apa-apa darinya agar dapat dengan mendalam memahami tabiat-tabiatnya.
Aku mengamati pergantian pose tidur, memperhatikan gerak-gerik penglihatan, hal-hal yang mengusik pendengarannya, juga apa-apa yang memicu perpindahannya dari satu area pengendusan ke area pengendusan selanjutnya.
Hingga pada satu momen, muncul kebencian terhadap diri sendiri, sebab sebuah kesimpulan yang rasanya brengsek. Aku tahu yang harus kulakukan untuk membuat kucing itu berkenan atau merasa bahwa Aung adalah namanya.
Aku perkenalkan ulang panggilan tersebut dengan menyertakan irisan ikan sebagai semacam umpan. Dengan begitu, ada memori yang tertanam setiap kali ia dengar nama Aung terarah kepadanya: bau pindang mentah!
Simpulan itu muncul setelah berhari-hari Aung sangat rewel. Ia tidak mau mengunyah biskuit khusus yang kubeli dengan harga agak mahal dari toko pakan hewan. Juga, enggan mencicipi susu yang kusiapkan saban subuh, siang, dan malam sebelum jam tidur rutin semua penghuni rumah.
Suatu pagi aku menyaksikan Aung --yang oleh keponakanku ditaruh di ketinggian rak buku-- tidak berani meloncat dan, kemudian, mengalihkan pandangan dari lantai ke arah lain. Disertai tatapan yang membidik, lehernya berputar sekian derajat, membuntuti gerakan ibuku yang memindahkan beberapa rantang berisi potongan pindang dari lemari pendingin ke lapak lauk sarapan yang setiap hari kami gelar di teras depan.
Jon, Teo, atau Aung sebetulnya tak sepenuhnya cuek kepadaku. Pada saat-saat tertentu, misal ketika ingin bermain atau mengajakku berburu, justru dialah yang bersusah payah merayuku.
Meskipun instingnya belumlah mahir membedakan bundel rafia dan ekor tongkol, atau lilitan kertas di ujung lidi penebah dan kepakan sayap kupu-kupu, Neva Masquerade milik keluarga adoptif yang agaknya tidak berniat menelantarkannya itu akan berlagak seperti penunjuk arah yang mengendus-ngendus wibawa hutan Siberia. Lampahnya bersulih antara yakin dan debar yang lain, sesekali menoleh untuk memastikan ada yang terus membuntut di belakangnya.
Ia mula-mula terlihat ingin menunjukkan keberadaan mangsa incaran, tetapi yang kemudian aku temukan hanyalah kukusan pindang di ketinggian meja yang tak sanggup dijangkaunya. Dalam keluarga kami memang akulah satu-satunya orang yang memberinya pindang. Bukan cuma biskuit khusus kucing. Itulah kenapa kedekatan kami meningkat cukup pesat.
Meskipun panggilan Aung masih dan kerap tak ia pedulikan, ada kepercayaan yang mulai tumbuh. Aku merasa kucing tersebut mulai mengartikan siapa aku. Juga hubungan kami. Ia katupkan kuku-kukunya saat kumainkan kaki-kakinya.
Sebagaimana yang diungkap oleh Jhon Bradshaw, Aung agaknya mulai berpikiran bahwa aku bukanlah makhluk yang berbeda darinya. Pakar perilaku binatang dari University of Brisbol itu mengatakan, seekor kucing sebetulnya tak menganggap manusia sebagai manusia, melainkan makhluk yang sama seperti dirinya, yakni seekor kucing --lebih tepat lagi: kucing jelek-besar yang pemberani.
Pelan-pelan aku merasa terlatih, bisa mengenali, membedakan suara dan hafal cara-cara yang ia pilih untuk menyuarakan kehendak-kehendaknya. Hanya dengan mendengarkan aransemen ngiau-annya, aku merasa paham: apakah ia lapar dan ingin makan, apakah mules atau kebelet pipis dan minta diantarkan ke toilet, atau sedang membutuhkan bantuan untuk menaklukkan mangsa yang sulit.
Aku ingat, betapa lucunya dia saat kewalahan mengatasi Phyllopoga postancensis yang tidak juga terlepas dari bulu perutnya, meskipun telah ia koyak dan gelimpangkan tubuh ke sana ke mari serupa kepanikan koi tiga puluh senti yang --karena salah memilih arah-- loncatannya mendarat di teras dapur. Kepanikan yang membuatku terkenang lagi, tangis histeris, dan kaki yang terjerembab di setumpuk kotoran kuda.
Pelan-pelan, aku merasa bisa memahami cara kucing tersebut berbahasa. Kalau kebelet berak tengah malam dan aku tidak sedang berada di sekitarnya, ia akan menggaruk-nggaruk leher agar lonceng mungil yang jadi bandul kalungnya berbunyi mirip alarm. Aku tahu ia memanggilku. Namun aku tidak mengerti mengapa ia, yang seiring berlalunya hari telah terbiasa berak atau kencing di kamar mandi, tak juga bernyali menghampiri toilet seekor diri.
Kucing abu-abu yang sangat jarang bersuara itu memang gampang panik jika tak ada seorang pun, atau gerak-gerik, yang dapat dilihatnya. Juga sangat ketakutan saat sound system hajatan kampung menggempur ruang dengar pemukiman dan ia, kebetulan, sedang menjelajahi detail pekarangan. Terutama jika yang diputar jenis remix-Pantura atau instrumental diskotek kelas menengah anjay ibu kota.
Begitu udara terlibas, seketika kucing itu pun terbirit-birit ke dalam garasi, ngeang-ngeong ke arah pintu seraya tiarap di dekat roda atau di bawah knalpot motor. Aku mengerti, ia memintaku segera datang sekaligus ingin memberi tahu, ada bahaya di luar sana.
Namun --selain kebiasaan manja minta diantar ke toilet-- sebetulnya masih ada sekian tabiat yang sulit kupahami. Aku tak bisa mengerti mengapa ketika diberi sepotong pindang, ia akan menyantapnya di tempat potongan pindang itu diletakkan; tetapi jika makanan yang diperolehnya adalah hasil curian, sekali pun yang diambilnya cuma sisa lauk di kotak sampah dapur, ia selalu memboyongnya ke tempat lain. Apa yang membimbingnya sehingga merasa perlu melakukan itu?
Aung tak mengenal kegawatan rimba, apalagi hak kepemilikan. Insting kebinatangan, bahkan, belum menggenapinya dengan kemampuan memilih lokasi aman atau tersembunyi.
Tabiat serupa juga diperlihatkannya pada saat (menjelang dan seusai) buang hajat. Aung tetap berupaya mengeruk lalu menggaruk sekitar untuk menimbun kotoran padahal tidak ada butir-butir pasir yang dapat dikumpulkannya, sebab yang kucing itu keruk dan garuk dengan cakar-cakarnya adalah lantai keramik.
Ada cuaca kesedihan yang ganjil ketika menyaksikan ia, dengan segenap diri dan konsentrasi penuh tenaga, mengulang-ulang adegan konyol yang (berkat ke-baper-an dan tafsir hiperbolis) mengesankan sebentuk koreografi tubuh untuk sejenis teater frustrasi. Kelaziman gerak hidup yang diwariskan secara misterius ke dalam tubuhnya itu kehilangan fungsi. Kearifan teknik berak tak kompatibel lagi dengan habitatnya. Sepi pun definitif! Tentu saja bukan bagi Neva Masquerade manja itu, melainkan bagi diriku sendiri.
Meskipun demikian, meskipun tak dengan rinci menyadari kenapa ada tabiat yang kupahami dan ada tabiat yang gagal kupahami, diam-diam aku nikmati betul kesibukan nirlaba tersebut, dan kupikir, laku kebinatangan yang tak kupahami itu adalah bentuk ketololanku pula dalam memahami diri sendiri. Ambisi pengamatan tidak segera membuatku sadar bahwa aku hanya bisa memahami seekor kucing dengan membayangkan diri sebagai binatang berkaki dua, dan bukan sebagai manusia.
Sebagaimana Aung, aku sendiri tidak jarang melakukan tindakan nir-faedah. Dalam 30 menit terakhir saja, telah kutunaikan tiga perbuatan sia-sia: mengkritik statement denial pemerintah terkait wabah Covid, menasihati sutradara buruk yang filmnya meraup sukses komersial, dan merindukan seseorang yang baginya --sejak setahun silam-- aku sudah CoD dengan malaikat Izrail. Kesamaan tabiat ini membuatku enggan beranggapan bahwa prosesi keruk-garuk lantai keramik adalah tingkah bloon seekor binatang.
Aung tentu saja tak lebih cerdik dariku, tetapi harus aku akui: ia jauh lebih tulus atas apa pun yang dilakukannya sedari aku bangun tidur sampai lelap kembali. Aku pikir, sejak hari ke-37, aku telah berguru pada binatang peliharaan sendiri, tentang kepolosan masa belia yang dalam diriku gagal bersulih jadi ketulusan masa dewasa. Aku melihat Aung seperti reka ulang masa kecil yang mustahil kuingat kembali, detail dan decak ekspresifnya, desah perasaannya.
Sekitar tiga jam lalu, misalnya, Aung membawaku memasuki bayangan yang sangat jauh dan membuatku merasa seperti menyusuri lorong lembap menuju masa silam yang sephia sebagai seorang masa depan, dengan benak pemahaman dewasa, yang ketika sebuah peristiwa sedang berlangsung dan ia menyaksikan, benak semacam itu belum dimilikinya. Aung yang berlama-lama memandangi lubang sanitasi, membuatku terkenang lagi diri yang masih bocah. Lubang sanitasi serupa duplikat lubang peranakan nenek yang aku lihat saat jenazahnya dimandikan.
Seketika itu pun aku seperti menjelaskan sesuatu yang dulu tidak aku mengerti kepada diriku yang sekarang. Seketika itu pun aku teringat bahwa dalam keluarga besar kami, aku bukanlah cucu kandung, dan dalam diriku tidak mengalir darah ningrat. Sebab ibu cuma sebuntal bayi, yang berkat kepercayaan sebuah keluarga terhadap kemujaraban mistik, disumbangkan pada seorang priyayi demi mengakhiri ketandusan rahim istrinya.
Perempuan yang dalam halaman pembuka catatan hariannya menulis: bukan wasiat tanah, tapi kasih sayang yang adil. Nenek adalah seorang pembenci kucing. Lebih tepatnya, ia tak menyukai segala jenis piaraan.
Aku pikir, sekarang, ada alasan kebencian yang aku temukan dan bisa aku mengerti. Alasan-alasan yang tak pernah nenek jelaskan. Karena itu, sejak tiga jam lalu, setiap kali mendengar Aung menyuarakan diri (terlebih melihat caranya menatapku), keyakinan bahwa kesimpulan Jhon Bradshaw keliru terus menguat. Apalagi ketika memanipulasi diri sebagai kucing, aku melihat manusia tetaplah manusia, sekali pun mereka tampak jelek-besar dan pemberani.
Halim Bahriz tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit Igauan Seismograf (2018) masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019
Namun, sejak hari ketiga, aku mengubah siasat. Memanggil atau mengenalkan nama baru itu seperlunya. Meluangkan kesuntukan lebih sebagai seorang yang tidak menginginkan apa-apa darinya agar dapat dengan mendalam memahami tabiat-tabiatnya.
Aku mengamati pergantian pose tidur, memperhatikan gerak-gerik penglihatan, hal-hal yang mengusik pendengarannya, juga apa-apa yang memicu perpindahannya dari satu area pengendusan ke area pengendusan selanjutnya.
Hingga pada satu momen, muncul kebencian terhadap diri sendiri, sebab sebuah kesimpulan yang rasanya brengsek. Aku tahu yang harus kulakukan untuk membuat kucing itu berkenan atau merasa bahwa Aung adalah namanya.
Aku perkenalkan ulang panggilan tersebut dengan menyertakan irisan ikan sebagai semacam umpan. Dengan begitu, ada memori yang tertanam setiap kali ia dengar nama Aung terarah kepadanya: bau pindang mentah!
Simpulan itu muncul setelah berhari-hari Aung sangat rewel. Ia tidak mau mengunyah biskuit khusus yang kubeli dengan harga agak mahal dari toko pakan hewan. Juga, enggan mencicipi susu yang kusiapkan saban subuh, siang, dan malam sebelum jam tidur rutin semua penghuni rumah.
Suatu pagi aku menyaksikan Aung --yang oleh keponakanku ditaruh di ketinggian rak buku-- tidak berani meloncat dan, kemudian, mengalihkan pandangan dari lantai ke arah lain. Disertai tatapan yang membidik, lehernya berputar sekian derajat, membuntuti gerakan ibuku yang memindahkan beberapa rantang berisi potongan pindang dari lemari pendingin ke lapak lauk sarapan yang setiap hari kami gelar di teras depan.
Jon, Teo, atau Aung sebetulnya tak sepenuhnya cuek kepadaku. Pada saat-saat tertentu, misal ketika ingin bermain atau mengajakku berburu, justru dialah yang bersusah payah merayuku.
Meskipun instingnya belumlah mahir membedakan bundel rafia dan ekor tongkol, atau lilitan kertas di ujung lidi penebah dan kepakan sayap kupu-kupu, Neva Masquerade milik keluarga adoptif yang agaknya tidak berniat menelantarkannya itu akan berlagak seperti penunjuk arah yang mengendus-ngendus wibawa hutan Siberia. Lampahnya bersulih antara yakin dan debar yang lain, sesekali menoleh untuk memastikan ada yang terus membuntut di belakangnya.
Ia mula-mula terlihat ingin menunjukkan keberadaan mangsa incaran, tetapi yang kemudian aku temukan hanyalah kukusan pindang di ketinggian meja yang tak sanggup dijangkaunya. Dalam keluarga kami memang akulah satu-satunya orang yang memberinya pindang. Bukan cuma biskuit khusus kucing. Itulah kenapa kedekatan kami meningkat cukup pesat.
Meskipun panggilan Aung masih dan kerap tak ia pedulikan, ada kepercayaan yang mulai tumbuh. Aku merasa kucing tersebut mulai mengartikan siapa aku. Juga hubungan kami. Ia katupkan kuku-kukunya saat kumainkan kaki-kakinya.
Sebagaimana yang diungkap oleh Jhon Bradshaw, Aung agaknya mulai berpikiran bahwa aku bukanlah makhluk yang berbeda darinya. Pakar perilaku binatang dari University of Brisbol itu mengatakan, seekor kucing sebetulnya tak menganggap manusia sebagai manusia, melainkan makhluk yang sama seperti dirinya, yakni seekor kucing --lebih tepat lagi: kucing jelek-besar yang pemberani.
Pelan-pelan aku merasa terlatih, bisa mengenali, membedakan suara dan hafal cara-cara yang ia pilih untuk menyuarakan kehendak-kehendaknya. Hanya dengan mendengarkan aransemen ngiau-annya, aku merasa paham: apakah ia lapar dan ingin makan, apakah mules atau kebelet pipis dan minta diantarkan ke toilet, atau sedang membutuhkan bantuan untuk menaklukkan mangsa yang sulit.
Aku ingat, betapa lucunya dia saat kewalahan mengatasi Phyllopoga postancensis yang tidak juga terlepas dari bulu perutnya, meskipun telah ia koyak dan gelimpangkan tubuh ke sana ke mari serupa kepanikan koi tiga puluh senti yang --karena salah memilih arah-- loncatannya mendarat di teras dapur. Kepanikan yang membuatku terkenang lagi, tangis histeris, dan kaki yang terjerembab di setumpuk kotoran kuda.
Pelan-pelan, aku merasa bisa memahami cara kucing tersebut berbahasa. Kalau kebelet berak tengah malam dan aku tidak sedang berada di sekitarnya, ia akan menggaruk-nggaruk leher agar lonceng mungil yang jadi bandul kalungnya berbunyi mirip alarm. Aku tahu ia memanggilku. Namun aku tidak mengerti mengapa ia, yang seiring berlalunya hari telah terbiasa berak atau kencing di kamar mandi, tak juga bernyali menghampiri toilet seekor diri.
Kucing abu-abu yang sangat jarang bersuara itu memang gampang panik jika tak ada seorang pun, atau gerak-gerik, yang dapat dilihatnya. Juga sangat ketakutan saat sound system hajatan kampung menggempur ruang dengar pemukiman dan ia, kebetulan, sedang menjelajahi detail pekarangan. Terutama jika yang diputar jenis remix-Pantura atau instrumental diskotek kelas menengah anjay ibu kota.
Begitu udara terlibas, seketika kucing itu pun terbirit-birit ke dalam garasi, ngeang-ngeong ke arah pintu seraya tiarap di dekat roda atau di bawah knalpot motor. Aku mengerti, ia memintaku segera datang sekaligus ingin memberi tahu, ada bahaya di luar sana.
Namun --selain kebiasaan manja minta diantar ke toilet-- sebetulnya masih ada sekian tabiat yang sulit kupahami. Aku tak bisa mengerti mengapa ketika diberi sepotong pindang, ia akan menyantapnya di tempat potongan pindang itu diletakkan; tetapi jika makanan yang diperolehnya adalah hasil curian, sekali pun yang diambilnya cuma sisa lauk di kotak sampah dapur, ia selalu memboyongnya ke tempat lain. Apa yang membimbingnya sehingga merasa perlu melakukan itu?
Aung tak mengenal kegawatan rimba, apalagi hak kepemilikan. Insting kebinatangan, bahkan, belum menggenapinya dengan kemampuan memilih lokasi aman atau tersembunyi.
Tabiat serupa juga diperlihatkannya pada saat (menjelang dan seusai) buang hajat. Aung tetap berupaya mengeruk lalu menggaruk sekitar untuk menimbun kotoran padahal tidak ada butir-butir pasir yang dapat dikumpulkannya, sebab yang kucing itu keruk dan garuk dengan cakar-cakarnya adalah lantai keramik.
Ada cuaca kesedihan yang ganjil ketika menyaksikan ia, dengan segenap diri dan konsentrasi penuh tenaga, mengulang-ulang adegan konyol yang (berkat ke-baper-an dan tafsir hiperbolis) mengesankan sebentuk koreografi tubuh untuk sejenis teater frustrasi. Kelaziman gerak hidup yang diwariskan secara misterius ke dalam tubuhnya itu kehilangan fungsi. Kearifan teknik berak tak kompatibel lagi dengan habitatnya. Sepi pun definitif! Tentu saja bukan bagi Neva Masquerade manja itu, melainkan bagi diriku sendiri.
Meskipun demikian, meskipun tak dengan rinci menyadari kenapa ada tabiat yang kupahami dan ada tabiat yang gagal kupahami, diam-diam aku nikmati betul kesibukan nirlaba tersebut, dan kupikir, laku kebinatangan yang tak kupahami itu adalah bentuk ketololanku pula dalam memahami diri sendiri. Ambisi pengamatan tidak segera membuatku sadar bahwa aku hanya bisa memahami seekor kucing dengan membayangkan diri sebagai binatang berkaki dua, dan bukan sebagai manusia.
Sebagaimana Aung, aku sendiri tidak jarang melakukan tindakan nir-faedah. Dalam 30 menit terakhir saja, telah kutunaikan tiga perbuatan sia-sia: mengkritik statement denial pemerintah terkait wabah Covid, menasihati sutradara buruk yang filmnya meraup sukses komersial, dan merindukan seseorang yang baginya --sejak setahun silam-- aku sudah CoD dengan malaikat Izrail. Kesamaan tabiat ini membuatku enggan beranggapan bahwa prosesi keruk-garuk lantai keramik adalah tingkah bloon seekor binatang.
Aung tentu saja tak lebih cerdik dariku, tetapi harus aku akui: ia jauh lebih tulus atas apa pun yang dilakukannya sedari aku bangun tidur sampai lelap kembali. Aku pikir, sejak hari ke-37, aku telah berguru pada binatang peliharaan sendiri, tentang kepolosan masa belia yang dalam diriku gagal bersulih jadi ketulusan masa dewasa. Aku melihat Aung seperti reka ulang masa kecil yang mustahil kuingat kembali, detail dan decak ekspresifnya, desah perasaannya.
Sekitar tiga jam lalu, misalnya, Aung membawaku memasuki bayangan yang sangat jauh dan membuatku merasa seperti menyusuri lorong lembap menuju masa silam yang sephia sebagai seorang masa depan, dengan benak pemahaman dewasa, yang ketika sebuah peristiwa sedang berlangsung dan ia menyaksikan, benak semacam itu belum dimilikinya. Aung yang berlama-lama memandangi lubang sanitasi, membuatku terkenang lagi diri yang masih bocah. Lubang sanitasi serupa duplikat lubang peranakan nenek yang aku lihat saat jenazahnya dimandikan.
Seketika itu pun aku seperti menjelaskan sesuatu yang dulu tidak aku mengerti kepada diriku yang sekarang. Seketika itu pun aku teringat bahwa dalam keluarga besar kami, aku bukanlah cucu kandung, dan dalam diriku tidak mengalir darah ningrat. Sebab ibu cuma sebuntal bayi, yang berkat kepercayaan sebuah keluarga terhadap kemujaraban mistik, disumbangkan pada seorang priyayi demi mengakhiri ketandusan rahim istrinya.
Perempuan yang dalam halaman pembuka catatan hariannya menulis: bukan wasiat tanah, tapi kasih sayang yang adil. Nenek adalah seorang pembenci kucing. Lebih tepatnya, ia tak menyukai segala jenis piaraan.
Aku pikir, sekarang, ada alasan kebencian yang aku temukan dan bisa aku mengerti. Alasan-alasan yang tak pernah nenek jelaskan. Karena itu, sejak tiga jam lalu, setiap kali mendengar Aung menyuarakan diri (terlebih melihat caranya menatapku), keyakinan bahwa kesimpulan Jhon Bradshaw keliru terus menguat. Apalagi ketika memanipulasi diri sebagai kucing, aku melihat manusia tetaplah manusia, sekali pun mereka tampak jelek-besar dan pemberani.
Halim Bahriz tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Bukunya yang telah terbit Igauan Seismograf (2018) masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019
Related Post =